Minggu, 08 Agustus 2010

Hukum Islam Tentang Nikah Siri

Hukum Islam Tentang Nikah Siri
Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.
Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 1009]
Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.
Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan?
Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.


Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.

Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.



Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;

حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
• Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.



Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.
Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Akibat Nikah Siri
DAMPAK POSITIF :
1. meminimalisasi adanya sex bebas, serta berkembangnya penyakit AIDS, HIV maupun penyakit kelamin yang lain.
2. Mengurangi Beban atau Tanggung jawab seorang wanita yang menjadi tulang punggung keluarganya.
DAMPAK NEGATIF :
1. Berselingkuh merupakan hal yang wajar
2. Akan ada banyak kasus Poligami yang akan terjadi.
3. Tidak adanya kejelasan status isteri dan anak baik di mata Hukum Indonesia.maupun di mata masyarakat sekitar.
4. Pelecehan sexual terhadap kaum hawa karena dianggap sebagai Pelampiasan Nafsu sesaat bagi kaum Laki-laki.
Maka dengan demikian jika dilihat dari dampak - dampak yang ada, semakin terlihat bahwasannya nikah siri lebih banyak membawa dampak negative di banding dampak positifnya. Serta Akibat hokum dari nikah siri itu sendiri :

1. Sebagai seorang istri kita tidak dapat menuntut suami untuk memberikan nafkah baik lahir maupun batin.
2. Untuk hubungan keperdataan maupun tanggung jawab sebagai seorang suami sekaligus ayah terhadap anakpun tidak ada. “seperti nasib anak hasil dari pernikahan yang dianggap nikah siri itu, akan terkatung-katung.Tidak bisa sekolah karena tidak punya akta kelahiran. Sedangkan, semua sekolah saat ini mensyaratkan akta kelahiran,”
3. Dalam hal pewarisan, anak-anak yang lahir dari pernikahan siri maupun isteri yang dinikahi secara siri, akan sulit untuk menuntut haknya, karena tidak ada bukti yang menunjang tentang adanya hubungan hukum antara anak tersebut dengan bapaknya atau antara isteri siri dengan suaminya tersebut.
Oleh karena itu untuk kaum hawa yang akan ataupun belum melakukan nikah siri sebaiknya berpikir dahulu karena akan merugikan diri kita sendiri. Bagaiamanapun suatu perkawinan akan lebih sempurna jika di legal kan secara hukum agama dan hokum Negara.

Qiyas

1. Pengertian Qiyas
A. Secara Bahasa
Secara bahasa, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qasa- yaqîsu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Misalnya, "Fulan meng-qiyaskan baju dengan lengan tangannya", artinya mengukur baju dengan lengan tangannya; artinya membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti "menyamakan", dikatakan "Fulan meng-qiaskan extasi dengan minuman keras", artinya menyamakan antara extasi dengan minuman keras.
Dalam perkembanganya, kata qiyas banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengkiasan dua buah buku. Atau maknawiyah, misalnya "Fulan tidak bisa dikiaskan dengan si Fulan", artinya tidak terdapat kesamaan dalam ukuran.

B. Secara Istilah
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama.
Sadr al-Syari'ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan bahwa qiyas adalah : "Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu' disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja". Maksudnya, 'illat yang ada pada satu nash sama dengan 'illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan 'illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Imama Baidhowi dan mayoritas ulama Syafi'iyyah mendefinisikan qiyas dengan :
"Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.".


2.Rukun Qiyas
Berdasarkan pengertian secara istilah, rukun qiyas dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
1. . Al-ashlu
Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqîs 'alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Imam Al-Amidi dalam al-Mathbu' mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri.
Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyas dari minuman keras adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharmannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan]Dengan demiklian maka al-aslu adalah objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.

2. . Hukmu al-ashli
Atau hukum asli; adalah hukum syar'i yang ada dalam nash atau ijma', yang terdapat dalam al-ashlu.

3. Al-Far'u
Adalah sesuatu yang dikiaskan (al-maqîs), karena tidak terdapat dalil nash atau ijma' yang menjelaskan hukumnya.

4. Al-'illah
Adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu, dan merupakan benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far'u, seperti "al-iskar".





3. Syarat Qiyas
Dari empat rukun qiyas yang sudah diterangkan di atas, dari masing-masing rukun terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai syarat khusus sah-nya qiyas, di antaranya adalah:
1. Syarat al-Ashlu
Ulama ulhul fiqih sepakat bahwa syarat dari al-ashlu adalah suatu hal yang pokok, dan bukan merupakan cabang dari yang lain, atau bukan cabang dari pokok (hukum) yang lain.Menurut jumhur fuqaha, bahawa qiyas harusalah dibangun diatas dalil nash ataupun ijma', hanya saja terjadi perbedaan pendapat di antara mereka tentang bolehnya qiyas yang didasarkan atas ijma'. Sebagian ulama yang tidak setuju mengatakan bahwa qiyas didasarkan dari 'illah yang menjadi dasar disyariatkannya hukum asli, dan hal ini tidak memungkinkan dalam ijma', karena ijma' tidak diharuskan disebutkan adanya wakil (al-far'u). Maka apabila tidak disebutkan al-far'u-nya, tidak mungkin untuk bisa diketahui 'illah qiyas-nya.
2. Syarat Hukmu al-Ashli
Terdapat beberapa syarat dalam hukmu al-ashli atau hukum asli,diantaranya:
a. Harus merupakan hukum syar'i, karena tuntutan dari qiyas adalah untuk menjelaskan hukum syar'i pada al-maqîs atau objek qiyas.
b. Harus merupakan hukum syara' yang tetap (tidak dihapus). Karena dalam penetapan hukum dari al-ashlu ke al-far'u, didasarkan dari 'illat dalam nash syar'i. Maka apabila hukum asli dihapus, mengharuskan terhapusnya juga 'illat yang akan digunakan dalam al-far'u.
c. Merupakan sesuatu yang logis yang bisa ditangkap oleh akal; 'illat hukumnya bisa diketahui oleh akal. Karena asas qiyas di antaranya adalah: 'illat hukumnya bisa diketahui, dapat diterapkan pada al-far'u.
Para ulama mengatakan tidak dibolehkanya qiayas dalam masalah ta'abuddiyah (prerogatif Allah), yang 'illah-nya manusia tidak ada kepentingan untuk mengetahuinya, seperti jumlah raka'at dalam shalat, thawaf mengelilingi ka'bah dll.


3. Syarat al-Far'u
a. 'Illat yang terdapat pada al-ashlu memiliki kesamaan dengan 'illat yang terdapat pada far'u, karena seandainya terjadi perbedaan 'illat, maka tidak bisa dilakukan penyamaan (qiyas) dalam keduanya. Adapun qiyas yang tidak terdapat syarat ini, dikatakan oleh para ulama sebagai qiyas ma'a al-fariq.
b. Tetapnya hukum asal; hukum asal tidak berubah setelah dilakuakan qiyas.
c. Tidak terdapat nash atau ijma' pada al-far'u, yaitu berupa hukum yang menyelisihi qiyas. Seandaiya terjadi hal ini, maka qiyas itu dihukumidengan qiyas fasid al-'itibar.

Imam Abu Hanifah berkata: "Tidak sah adanya pensyaratan 'iman' dalam memerdekakan budak sebagai kafarat sumpah di-qiyas-kan pada kafarat pembunuhan; karena pensyaratan itu menyelisihi keumuman nash dalam firman Allah Swt.:
Artinya:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak”. (Q.S. Al-Maidah:89).

Lafadz "raqabah/budak" dalam ayat ini berbentuk mutlaq, tidak ada pensyaratan harus mu'min, berbeda dengan kafarat pembunuhan seperti firman Allah Swt.:
Artinya:
dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat. (Q.S. An-Nisa:92).



3. Syarat 'Illat
a. Sifat 'illat hendaknya nyata; terjangkau oleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena 'illat merupakan isyarat adanya hukum yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada far'u. Apabila 'illat tidak bisa ditangkap pancaindera, maka tidak mungkin untuk bisa menunjukkan kepada suatu hukum, jadi 'illat haruslah nyata, seperti 'illat memabukkan dalam khamer.
b. Sifat 'illat hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada far'u, karena asas qiyas adalah adanya persamaan 'illat antara ashlu dan far'u'.
c. 'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan hikmah hukum, dalam arti bahwa kuat dugaan 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum; memelihara kehidupan manusia.
d. 'Illat tidak hanya terdapat pada ashlu saja, tetapi harus berupa sifat yang dapat diterapkan juga pada masalah-masalah lain selain dari ashlu.
Untuk hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Saw, tidak boleh dijadikan dasar qiyas. Misalnya menikahi wanita lebih dari empat orang, karena ini berupa ketentuan khusus yang hanya berlaku bagi Nabi Saw.





4. Macam-Macam Qiyas
Macam-macam qiyas itu antara lain:
a. Qiyas Aula (الاء ولى) yakni apabila qiyas yang ada pada furu’ terlebih kuat dari illat pada pokok. Misalnya : kita melarang berkata “HUS” pada orang tua, maka kita tidak boleh menempeleng orang tua, karena hus itu menyakiti rokhani, sedangkan menempeleng itu menyakiti rokhani dan jasmani.
b. Qiyas Musawi (المساوي), yakni bila illat pada cabang itu sama bobotnya dengan illat pada pokok. Misalnya membakar harta anak yatim diqiyaskan dengan memakan harta anak yatim.
c. Qiyas Dalalah (الدلا لة) yakni qiyas yang menunjukkan dua perkara yang serupa satu sama lain, bahwa illat didalamnya menunjukkan adanya hukum, tetapi illat itu tidak mengharuskan adanya hukum. Misalnya zakat bagi anak yatim yang kaya, diqiyaskan dengan orang dewasa yang kaya.
d. Qiyas syibih (الشبة), yakni mengqiyaskan furu’ pada dua pokok, illat dicari antara kedua pokok tersebut yang paling cocok. Misalnya mendoakan orang kafir yang menyumbang harta untuk kepentingan sosial Islam.
e. Qiyas Adwan (الآدوان) yakni mengqiyaskan hal yang diqiyaskan kepada hukum yang terhimpun pada hukum tempat mengqiyaskan, seperti mengqiyaskan lelaki memakai perak kepada memakai emas, karena ada hukum ashal tentang terkumpul pada haramnya perak dan emas digunakan sebagai tempat air minum.

4. Hujjiyatul Qiyas
Hujjah secara bahasa artinya petunjuk atau bukti, adapun arti qiyas sebagai hujjah adalah: petunjuk atau bukti untuk mengetahui beberapa hukum syar'i. Sedangkan arti hujjiyatul qiyas sendiri adalah bahwa qiyas merupakan dasar dari dasar-dasar pensyareatan dalam hukum-hukum syar'i '.
Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara'. Tetapi mereka sepakat bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai hujjah dalam perkara-perkara duniawi, sebagaimana pula mereka sepakat kehujjahan qiyas Nabi Saw.
Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara'
Jumhur 'ulama Mu'tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu:
1. Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
2. Hukum far'u harus lebih utama daripada hukum ashl.

Dr. Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih, dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama-ulama Syi'ah, al-Nadzam, Dzhahiriyyah dan dari sebagian ulama Mu'tazilah Irak. Hanya saja sebagian dari mereka mengatakan bahwa pelarangan ataupun penolakan terhadap hujjah qiyas berdasarkan dari akal, dan sebagian yang lain mengatakan pelaranganya dari syar'i, namun pada kenyataanya mereka adalah orang-orang yang menolak adanya qiyas.
Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara' menurut kelompok yang menolaknya adalah :
1. Dalil al-Qur'an
Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 49:
"Hai orang - orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya...".
Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang.
Pernyataan di atas di bantah dengan:
Bahwa menggunakan qiyas bukanlah sesuatu yang dilarang, karena Allah Swt. dan Rasul-Nya, karena menggunakan qiyas sejatinya adalah beramal dengan al-Qur'an dan sunnah, maka bukan mendahului Allah dan Rasul-Nya.
Selanjutnya dalam surat al-Isra' ayat 36, Allah berfirman :
"Dan janganlah kam mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya ".
Ayat tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu, berdasarkan ayat tersebut, qiyas dilarang untuk diamalkan.
Pernyataan ini juga dibantah dengan: Ayat tersebut bukan merupakan larangan menggunakan qiyas, karena menggunakan qiyas bukanlah perkara yang dzhanni (persangkaan), bahkan qiyas merupakan perkara yang qath'i (pasti) di tangan seorang mujtahid. Artinya diketahui secara yakin bahwa itu merupakan hukum Allah dalam suatu masalah.
2. Hadis
Alasan-alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits hasan yang diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :
"Sesungguhnya Allah menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan,Menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dan haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgar larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu".
Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di ma'afkan dan mubah (boleh). Apabila di qiyas-kan sesuatu yang didiamkan syara' kepada wajib, misalnya maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dima'afkan atau dibolehkan.
Pernyataan di atas dijawab:
Bahwa menggunakan qiyas bukan merupakan hukum dari mujtahid, tetapi itu adalah hukum dari Allah Swt., karena 'illat hukum pada dasarnya berasal dari sisi Allah.

Sedangkan jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam hukum syar'i mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah
1. Surat al-Hasyt ayat 59:
"maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang - orang yang mempunyai pandangan"

Ayat tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadhir disebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I'tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyas yang disebut Allah dengan al-I'tibar adalah boleh, bahkan al-Qur'an memerintahkannya.
Ayat lain yang dijadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :
2. Surat al-Baqarah ayat 222:
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, "haid itu adalah kotoran", oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid".

Alasan jumhur ulama dari hadits Rasululah adalah riwayat dari Mu'adz Ibn Jabal yang amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadhi.
Rasulullah melakukan dialog dengan Mu'adz seraya berkata :
"Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)"
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal. Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi Rasulullah seraya berkata :
"Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa". Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :"bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur - kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal ?, Umar menjawab, "tidak", lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu kenapa engkau samapi menyesal ?". (H.R Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar Ibn al-Khatthab)
Dalam hadits tersebut Rasulullah meng-qiyaskan mencium istri dengan berkumur-kumur, yang keduanya sama-sama tidak membatalkan puasa.
Contoh Qiyas
Qiyas keharaman extasy/pil koplo/narkotika.
Hukum mengkonsumsi extasy atau pil koplo tidak tertulis secara eksplisit di dalam al-Qur'an ataupun hadist. Namun dalam al-Qur'an surat al-Maidah ayat 90, Allah Swt berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Maidah: 90)
Pada ayat diatas, Allah menerangkan keharaman minum khamer. Maka metode qiyas dapat digunakan untuk menetapkan hukum mengkonsumsi extasy atau narkotika;
• Al-Ashlu: minuman keras atau khamer
• hukum asli: haram
• Al-far'u: extasy
• Al-'illah: memabukkan,
Dari rincian di atas, dapat disimpulkan bahwa antara extasy dan minum khamer terdapat persamaan dalam 'illah, yaitu sama-sama memabukkan sehingga dapat merusak akal. Jadi dapat disimpulkan bahwa mengkonsumsi extasy atau narkotik hukumnya haram, sebagaimana haramnya minum khamer.

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, SERTA KEGUNAAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian Ilmu Pendidikan Islam
Secara definitif, ilmu sebagaimana dikemukakan oleh Al-Jurjani dalam bukunya Al-Ta’rifat, adalah sebagai berikut:
1. “Ilmu merupakan kesimpulan yang pasti yang sesuai dengan keadaan sesuatu.”
2. “Ilmu adalah menetapnya ide (gambaran) tentang sesuatu dalam jiwa atau akal seseorang.”
3. “Ilmu adalah sampainya jiwa kepada hakekat sesuatu.
Kata “ilmu” berasal dari kata dasar “Alima - Ya’lamu” yang berarti mengerti atau memberi tanda (mengetahui). Sehingga ilmu dapat juga dikatakan sebagai kesimpulan sesuatu yang didapatkan seseorang melalui panca indera, baik dengan melihat, mendengar, mengucap, menyentuh, mencium, merasa, dan sebagainya.
Selanjutnya istilah pendidikan menurut tinjauan psikologi pada umumnya berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “an”, mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “Education” yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan “Tarbiyah” yang berarti pendidikan.
Dalam perkembangan istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Perkembangan selanjutnya pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.
Istilah “pendidikan” dalam konteks Islam lebih banyak dikenal dengan term “Al-Tarbiyah, Al-Ta’lim, dan Al-Ta’dib”. Setiap term tersebut mempunyai makna yang berbeda karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya, walaupun dalam hal-hal tertentu term-term tersebut mempunyai kesamaan makna.
Kata “pendidikan” yang umum digunakan sekarang dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah” dengan kata kerja “rabba”. Sedangkan pendidikan Islam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah Islamiyah
Kemudian di sini juga akan diungkapkan pengertian pendidikan Islam menurut beberapa ahli, di antaranya:
1. Muhammad Athiyah Al-Abrasy memberikan pengertian bahwa “Pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur pikirannya, halus perasaannya, cakap dalam pekerjaannya dan manis tutur katanya.”
2. Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa “Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.”
Dengan memperhatikan kedua definisi di atas, maka berarti pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian.
Islam adalah agama wahyu yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Hadis yang disampaikan kepada umat Islam melalui Rasulullah SAW. Oleh karena itu, pendidikan Islam tidak boleh dilepaskan begitu saja dari ajaran Islam yang tertuang dalam kedua sumber tersebut yang merupakan pedoman otentik dalam penggalian khazanah keilmuan apapun.
berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat diberikan pengertian bahwa ilmu pendidikan Islam adalah ilmu yang mempelajari tentang teori-teori atau usaha membimbing dan membina jasmani dan rohani anak didik oleh orang dewasa sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis.
B. Ruang Lingkup Ilmu Pendidikan Islam
Pendidikan sebagai ilmu yang mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, karena didalamnya banyak segi-segi atau pihak-pihak yang ikut terlibat baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Adapun segi-segi atau pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan islam sekaligus menjadi ruang lingkup pendidikan islam adalah sebagai berikut :
1. Perbuatan mendidik itu sendiri.
Maksudnya adalah seluruh kegiatan, tindakan atau perbuatan dan sikap yang dilakukan oleh pendidikan sewaktu menghadapi/mengasuh anak didik.
2. Anak didik
Yaitu merupakan obyek terpenting dalam pendidikan islam
3. Dasar dan tujuan pendidikan islam
Yaitu landasan yang menjadi fundament dan sumber dari segala kegiatan pendidikan islam yang dilakukan
4. Pendidik
Yaitu subyek yang melakukan pendidikan islam
5. Materi Pendidikan Islam
Yaitu bahan-bahan, atau pengalaman-pengalaman belajar ilmu agama islam
6. Metode Pendidikan Islam
Yaitu cara yang paling tepat dilakukan oleh pendidikan untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan islam kepada anak didik
7. Evaluasi Pendidikan
Yaitu memuat cara-cara bagaimana mengadakan evaluasi atau penilaian terhadap hasil belajar anak didik
8. Alat-alat pendidikan islam
Yaitu alat-alat yang dapat digunakan selama melaksanakan pendidikan islam agar tujuan pendidikan islam tersebut lebih berhasil
9. lingkungan sekitar atau millieu pendidikan islam
Yaitu keadaan-keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta hasil pendidikan islam
C. Kegunaan Ilmu Pendidikan Islam
Setelah memperhatikan dasar-dasar dan tujuan pendidikan Islam sebagaimana yang telah disebutkan, maka berikut ini akan diungkapkan kegunaan ilmu pendidikan Islam:
1. Untuk mengembangkan potensi yang ada pada anak didik Muslim sebagai makhluk yang dapat dididik.
2. Untuk mewariskan nilai-nilai budaya Islam kepada anak didik sebagai generasi penerus/calon pemimpin umat.
3. Karena ilmu pendidikan Islam berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis yang keduanya menggunakan bahasa Arab, dengan demikian dapat melatih dan mempraktikkan bahasa tersebut kepada anak didik Muslim.
4. Untuk memberikan pengertian kepada anak didik bahwa dirinya bukan hanya sebagai seorang Muslim yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadis, tetapi ia juga seorang warga negara Indonesia yang memiliki falsafah hidup bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945.

D. Sumber dan Dasar Pendidikan Islam

Pendidikan Islam bersumber pada enam hal, yaitu
1. al-Qur’an (yang merupakan sumber utama dalam ajaran Islam),
2. as-Sunnah (perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi
3. kata-kata sahabat (madzhab shahabat),
4. kemaslahatan umat (mashalih al-mursalah)
5. tradisi atau kebiasaan masyarakat (‘urf)
6. dan ijtihad (hasil para ahli dalam Islam).

Keenam sumber tersebut disusun dan digunakan secara hierarkis, artinya rujukan pendidikan Islam berurutan diawali dari sumber utama yakni al-Qur’an dan dilanjutkan hingga sumber-sumber yang lain dengan tidak menyalahi atau bertentangan dengan sumber utama. Sedangkan dasar dari pendidikan Islam adalah tauhid. Dalam struktur ajaran Islam, tauhid merupakan ajaran yang sangat fundamental dan mendasari segala aspek kehidupan penganutnya, tak terkecuali aspek pendidikan. Dalam kaitan ini para pakar berpendapat bahwa dasar pendidikan Islam adalah tauhid. Melalui dasar ini dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Kesatuan kehidupan. Bagi manusia ini berarti bahwa kehidupan duniawi menyatu dengan kehidupan ukhrawinya. Sukses atau kegagalan ukhrawi ditentukan diduniawinya.
2. Kesatuan ilmu. Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmuilmu umum karena semuanya bersumber dari satu sumber, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Kesatuan iman dan rasio. Karena masing-masing dibutuhkan dan masingmasing mempunyai wilayahnya, sehingga harus saling melengkapi.
4. Kesatuan agama. Agama yang dibawa oleh para nabi semuanya bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, prinsip-prinsip pokoknya menyangkut akidah dan akhlak tetap sama, dari zaman dahulu sampai zaman sekarang.
5. Kesatuan kepribadian manusia. Mereka semua diciptakan dari tanah dan roh ilahi.
6. Kesatuan individu dan masyarakat. Masing-masing harus saling menunjang






Untuk dasarnya dan sumber dari al-qur’an sendiri adalah dalam surat al-‘alaq 1-5















Dan hadits rasullullah :

طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة
Artinya :

Menuntut ilmu itu adalah kewajiban atas setiap orang islam, laki-laki dan perempuan .{H.R . bukhori dan muslim}.













E. PENDIDIK
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik sering disebut dengan “murabbi, mu’allim, dan mu’addib”. Ketiga term tersebut mempunyai semantis masing-masing sesuai dengan penggunaannya dalam konteks pendidikan Islam. Di samping itu istilah pendidik juga disebut dengan istilah/panggilan “Al-Ustadz” dan “Al-Syaikh”.
Sebagaimana teori Barat, pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif, potensi kognitif, maupun potensi psikomotorik.8
Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah Allah SWT serta mampu mewujudkan dirinya sebagai makhluk sosial (Zoon Politicon) dan sebagai makhluk individu yang mandiri.
Pendidik yang utama dan pertama adalah orang tua (ayah dan ibu). Mereka bertanggung jawab penuh atas perkembangan anak-anaknya sejak dalam kandungan sampai mereka beranjak dewasa. Oleh karena itu kesuksesan anak dalam mewujudkan dirinya sebagai khalifah Allah juga merupakan kesuksesan orang tua sebagai pendidiknya.





F. Anak Didik
Pendidikan ibarat uang logam, selalu memiliki dua sisi yang bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Satu sisi ada yang bertugas sebagai pendidik, di sisi lain ada yang bertugas sebagai peserta/anak didik. Proses pendidikan berarti terjadinya aktivitas antara pemberi dan penerima.
Anak didik merupakan salah satu dari dua sisi tersebut yang memiliki tugas menerima konsep pendidikan agar dirinya terbentuk sebagai insan muslim yang kenal dan tahu akan Tuhan dan agamanya, memiliki akhlak Al-Qur’an, bersikap, bersifat, dan bertindak sesuai dengan kaidah Al-Qur’an, berpikir dan berbuat demi kepentingan umat serta selalu turut ambil bagian dalam kegiatan pembangunan manusia seutuhnya.
Dalam membicarakan anak didik, ada dua hal penting yang harus diperhatikan oleh pendidik, yaitu:
1. Hakikat Anak Didik
Membicarakan anak didik sesungguhnya kita membicarakan hakikat manusia yang memerlukan bimbingan. Para ahli psikologi mempunyai pandangan yang berbeda terhadap manusia. Aliran psikoanalis beranggapaan bahwa tingkah laku manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam yang mengontrol kekuatan psikologis yang sejak semula ada dalam diri individu.
Aliran humanistik mengatakan bahwa manusia senantiasa dalam proses untuk wujud (becoming) namun tak pernah selesai dan tidak pernah sempurna. Tingkah laku manusia digerakkan oleh rasa tanggung jawab sosial dan kebutuhan untuk mencapai sesuatu. Sementara aliran behaviorisme beranggapan bahwa tingkah laku manusia merupakan reaksi dari rangsangan yang datang dari luar dirinya. Manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan karena proses interaksi terus menerus antar individu dengan lingkungannya.
Islam menempatkan manusia sebagai makhluk yang termulia dari semua makhluk Tuhan lainnya dan memberikan kepadanya amanah sebagai khalifah di jagad raya ini.
2. Kebutuhan Anak Didik
Al-Qussy membagi kebutuhan manusia ke dalam dua kebutuhan pokok, yaitu: a) kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmani seperti makan, minum, seks, dan sebagainya. b) kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan rohaniah. Selanjutnya ia membagi kebutuhan rohaniah kepada 6 (enam) macam, yaitu kebutuhan kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, sukses dan kebutuhan akan suatu kekuatan pembimbing atau pengendalian diri manusia seperti pengetahuan.
Kemudian Law Head, membagi kebutuhan manusia kepada: kebutuhan jasmani dan rohani, seperti istirahat, rekreasi, dan lain-lain, kebutuhan sosial serta kebutuhan agama.
Di kalangan ahli pendidikan timbul suatu problem tentang apakah benar anak itu dapat dibimbing melalui jalur pendidikan? Maka seiring dengan itu terdapat tiga aliran yaitu:
1) Aliran Nativisme, yang berpendapat bahwa sejak lahir anak telah mempunyai pembawaaan yang kuat, sehingga tidak dapat menerima pengaruh dari luar (lingkungan). Baik buruknya seorang anak sangat ditentukan oleh pembawaan yang dimilikinya. Aliran ini dikemukakan oleh Schopenhauer dari Jerman.
2) Aliran Empirisme, yang dipelopori oleh John Locke yang mengemukakan pendapatnya dengan teori tabula rasa. Ia mengatakan bahwa pendidikan sangat mampu memberikan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan anak. Baik buruknya seorang anak tergantung kepada pendidikan yang ia terima dari lingkungan sekitarnya.
3) Aliran Konvergensi, yang dianggap sebagai perpaduan dari kedua aliran sebelumnya. Aliran ini dipelopori oleh William Stern, yang berpendapat bahwa perkembangan jiwa anak dipengaruhi oleh pembawaan yang dimilikinya di samping lingkungan yang ada di sekitarnya, atau dengan kata lain, bahwa perkembangan anak itu tergantung pada pembawaan dan pendidikan.
Dari ketiga aliran tersebut di atas, aliran konvergensi dinilai memiliki persamaan dengan konsep ajaran Islam. Menurut konsep ajaran Islam, bahwa setiap anak mempunyai pembawaan (kecenderungan) untuk beragama yang dikenal dengan istilah “fitrah”. Namun fitrah (potensi dasar) tersebut dapat berkembang ke arah yang lebih positif apabila memperoleh pendidikan/bimbingan yang baik dari lingkungan sekitarnya dan sebaliknya, fitrah (potensi dasar) tersebut dapat berkembang ke arah yang lebih negatif apabila memperoleh pendidikan/bimbingan yang buruk dari lingkungan sekitarnya.
G. TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha dan kegiatan selesai. Oleh karena itu, pendidikan sebagai usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan, maka tujuannya pun harus bertahap dan bertingkat.
Kalau melihat kembali pengertian pendidikan Islam maka akan tergambar dengan jelas sesuatu yang diharapkan dapat terwujud setelah orang mengalami pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu terwujudnya pribadi-pribadi insan kamil/manusia seutuhnya; sehat jasmani dan rohani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Berikut ini akan dijelaskan berbagai tujuan ideal pendidikan, antara lain:
(1) Tujuan Umum
Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dari semua kegiatan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Sementara cara atau alat yang paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan adalah pengajaran.
Tujuan umum pendidikan Islam harus dikaitkan pula dengan tujuan pendidikan nasional negara tempat pendidikan Islam itu dilaksanakan dan harus dikaitkan pula dengan tujuan institusional lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tersebut.
(2) Tujuan Akhir
Pendidikan Islam itu berlangsung sepanjang usia (long life education) maka tujuan akhirnya harus tercapai sewaktu hidup di dunia ini berakhir. Tujuan akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dari Firman Allah SWT:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim (menurut ajaran Islam).” (QS. Ali Imran: 102)
(3). Tujuan Sementara
Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.
(4) Tujuan Operasional
Tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan mencapai tujuan tertentu disebut tujuan operasional. Dalam pendidikan formal tujuan operasional ini disebut juga dengan tujuan instruksional yang selanjutnya dikembangkan menjadi tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.


Pendidikan Islam juga mempunyai tujuan tersendiri sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup yang digariskan Al-Qur’an. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam mempunyai dua tujuan, yaitu:
1. Tujuan keagamaan, maksudnya adalah beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan atasnya.
2. Tujuan ilmiah yang bersifat keduniaan, yaitu apa yang diungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk kehidupan.
Namun selanjutnya, karena pendidikan Islam yang dimaksud di sini adalah pendidikan Islam yang berlaku di Indonesia, maka haruslah berorientasi kepada tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional dirumuskan dengan mendasarkan kepada pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila. Sehingga diharapkan lembaga pendidikan Islam di Indonesia dapat melahirkan manusia muslim yang Pancasilais. Tujuan pendidikan di Indonesia telah digariskan dalam UU No. 12 tahun 1945 dan UU No. 4 tahun 1950. Dalam pasal 3 dari Undang-undang tersebut dirumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut:
“Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Sejalan dengan perkembangan sejarah dan perubahan sosial, maka rumusan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UU No. 12 tahun 1945 dan UU No. 4 tahun 1950 mengalami perubahan untuk lebih disempurnakan. Di dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional tujuan pendidikan dinyatakan sebagai berikut: “Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”
Selanjutnya dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 tujuan pendidikan dinyatakan bahwa: “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Di dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut jelas bahwa dalam rangka pembinaan manusia seutuhnya, unsur iman dan taqwa menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan.
Adapun tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari ajaran Islam itu sendiri yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah, lahir dan bathin, di dunia dan akhirat.

Konsep Penting Dalam Sejarah Pemerintahan Islam

Dalam sejarah pemerintahan islam ada empat konsep penting yaitu :
1. Konstitusi
2. Legislasi
3. Ummah
4. Syura dan Demokrasi
1. Konstitusi
Perpaduan antara politik dan agama yang merupakana akibat lagsung dari hakikat teologi Islam jugs terungkap dalam kawasan teori konstitusioanal.
AI-Quran sebagai undang-undang, perilaku keagamaan, tetapi yang lebih tinggi, kitab suci itu merupakan hukum dasar dan tertinggi yang tidak dapat digolongkan sebagai argumen serius tentang konstitusi Negara Islam.
Sumber hukum konstitusi Islam yang kedua yang tidak kalah penting adalah Sunah atau segala perkataan dan praktek kehidupan Nabi Muhammad saw, manusia yang dipilih Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada sernua. manusia.
Sumber hukum konstitusi Islam yang ke tiga adalah Ijma' yang berarti kesepakatan universal atau kosensus yang bersifat umum. Ijma' melibatkan upaya kolektif yang terdiri dari anggota-anggota suatu kelompok atau keseluruhan masyarakat untuk meraih sebuah kesepakatan hukum tentang suatu masalah tertentu.
Sedangkan sumber hukum konstitusi yang ke empat adalah Qiyas yaitu metode yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah yang berkenaan dengan legalitas suatu bentuk perilaku tertentu. Dalam Islam metode ini digunakan untuk memperluas hukum¬hukum syariab yang bersifat umum kepada berbagai kasus individu yang tak terbatas atas dasar kesamaan atau ketidakselarasan dengan beberapa kasus lama yang telah dijelaskan dalam Qur'an dan Sunnah.

2. Legislasi
Di dalam Islam, Legislasi ( perundang-undangan ) terbagi ke dalam empat bentuk;
a. Interpretasi
Dalam masalah-masalah tertentu, Al-Quran clan Al-sunnah telah meletak perintah-perintah yang jelas atau tersamar untuk mewajibkan aturan bertindak tertentu. Untuk masalah-masalah ini, tidak ada seorang ahli hukum, hakim,badan legislatif, bahkan ummat secara keseluruhan yang diperbolehkan mengubah ketentuan-ketentuan Syariah tertentu atau aturan yang telah digariskannya. Tetapi hal ini berati bahwa manusia tidak diberi jatah untuk melaksanakan fingsi legislasinya. Peran manusia disini adalah sebagai berikut :
1. Secara tepat dan cermat mencari apa sebenarnya hukum tersebut; hakikat dan isinya,
2. Menentukan makna dan maksudnya,
3. Menyelidiki syarat-syarat yang dikehendakinya dan cars penerapannya dalam masalah-masalah praktek,
4. Menggarap rincian-rinciannya dalam kasus hukum-hukum untuk penerapan secara langsung dalam praktek kehidupan sehari-hari, dan
5. Menentukan sampai sejauh mana hukum-hukum tertentu dapat diterapkan dan tidak dapat diterapkan dalam situasi dan kondisi perkecualian.
b. Analogi ( Qiyas )
Kemudian ada jenis-jenis masalah yang meskipun didalam syariah belum digariskan tetapi ada isyarat yang terjadinya beberapa situasi yang sifatnya analog. Dalam situasi semacam ini fungsi pembentukan undang-undang akan menerapkan perintah-perintah, serta memahami secara tepat alasan-alasan serta penyebab¬penyebab yang mendasarinya, untuk masalah yang benar-benar memiliki hubungan¬hubungan sebab-akibat serta menghindari penerapan aturan-aturan ini jika tidak ada hubunagn sebab-akibat itu.
c. Inferensi
Masih ada lagi katagori masalah manusia yang di dalam syariah tidak ada tuntutannya tetapi diganti dengan prinsip-prinsip umum atau pengisyaratan atas kehendak Pemberi Hukum mengenai spa yang harus digalakkan dan spa yang harus ditutup kemungkinan tedadinya. Untuk masalah-masalah semacam ini, fungsi pembentukan undang-undang disini adalah memahami prinsip-prinsip syariah serta kehendak Pemberi Hukum tersebut dan merumuskan hukum-hukum mengenai masalah-masalah praktek yang didasarkan pads prinsip-prinsip ini, serta yang memenuhi kehendak Pemberi Hukum.
d. Wilayah Legislasi yang Independen
Terlepas dari ketiganya, masih ada rangkaian Was masalah manusia yang tidak diungkit-ungkit oleh syariah. Syariah tidak memberikan isyarat secara langsung maupun tuntutan jelas bagi situasi-situasi indentik maupun sejenis yang sedemikian rupa sehingga kita mampu menggali suatu inferensi analogis didalamnya. Sikap syariah ini sendiri ini merupakan petunjuk bagi kenyataan bahwa Pemberi-Hukum telah menyerahkannya kepada umat manusia; untuk memutuskan masalah-masalah berdasarkan kecenderungan serta pertimbangan-pertimbangan mereka sendiri. Dengan demikian, untuk kasus-kasus semacam ini kita dapat menerapkan pembentukan undang-undang secara mandiri sepanjang sesuai dengan semangat Islam yang benar dan prinsip-prinsip umumnya, serta yang lebih penting lagi, tidak bertolak belakang dengan pola umum serta temperamen Islam. Perundang-undangan ini harus secara alamiah dan wajar sejalan dengan rancanang ideologi Islam secara Umum.
3. Ummah
Kata-kata umat ternyata memiliki ruang lingkup yang berlapis. Lapisan pertama, kata umat bisa disamakan dengan makhluk Tuhan, sehingga burungpun disebut umat, semut yang berkeliaran pun jugs bisa disebut umat dari umat-umat Allah. Lapisan kedua, kata umat berarti umat manusia secara keseluruhan. Lapisan ketiga, kata umat berarti suatu kemunitas manusia. Dalam lapisan ini bare bisa dibedakan antara umat Islam dan umat non-muslim.
Konsep terpenting dalam pemikiran politik Islam adalah konsep Ummah atau komunitas orang-orang beriman.
Permulaan kata Ummah diterjemahkan sebagai suatu kesatuan yang menimbulkan kesatuan semua warga muslim. Jika tubuh Ummah yang konkret muncul ke permukaan sebagai suatu konsep kehidupan dengan mempert-imbangkan budaya, maka Ummah dapat berlaku sebagai suatu kekuatan yang memelihara dan membuat kesatuan dan kekuatan. Jadi, konsep tersebut berperan sebagai simbul kesatuan dan kekuatan yang mewujudkan kesatuan secara bersamaan.
Menurut makna istilah, Ummah “meliputi totalitas (jamaah ) individu-individu yang Baling terkait oleh tali atau ikatan agama, bukan kekeluargaan maupun ras. Di dalam Ummah itu segenap anggota bersaksi sepenuhnya bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya. Dihadapan Allah, semua anggota mempunyai derajat yang sama, tidak ada perbedaan tingkatan, kelas atau ras. "
Sedangkan makna Ummah dalam arti lebih luas tidak hanya terbatas pads masyarakat madinah. Dalam dokumen yang disebut " Konstitusi Madinah" istilah Ummah digunakan dalam dua arti yang berbeda dalam dua bagian dokumen:
a. pada bagian awal istilah itu digunakan dalam arti khusus, yakni masyarakat keagamaan orang-orang yang beriman; dan
b. pada bagian kedua, kata itu diartikan sebagai masyarakat persekutuan secara umum.
Namun demikian, corak dengan masyarakat non-muslim itu dipandang tidak merubah keunikan dasar dan kekhususan umat Islam.
Sisi paling penting peran Ummah sama dengan solidaritas mekanis yang muncul dari keberadaan manusia dalam suatu dalam Islam adalah tingkat solidaritasnya yang tinggi. Bentuk solidaritas itu tid masyarakat dengan faktor-faktor yang umum seperti wilayah, budaya dan bahasa ( faktor-faktor yang lazim ada pada sebuah bangsa ). Solidaritas Islam adalah sebuah solidaritas organik ( keluarga ) yang menciptakan dan berupaya menggayuh tujuan yang bersifat umum dan menghendaki parsitifasi setiap warganya untuk merealisasikan tujuan itu dalam batas-batas perangkat yang dimiliki sejalan dengan keragaman tugas ( kewajiban ) masing-masing .
4. Syura dan Demokarasi
Kata Syura akar kata dari syawara- musyawaratan, artinya mengeluarkan madu dari sarang lebah. Kemudian dalam istilah di Indonesia disebut musyawarah. Artinya segala sesuatu yang diambil/dikeluarkan dari yang lain (dalam forum berunding) untuk memperoleh kebaikan. Dalam Al-Qur'an kata syura ditampilkan dalam beberapa ayat. Dalam QS al-Baqarah: 233 berarti kesepakatan. Dalam 'Ali Imran :159 Nabi disuruh untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya, berkenaan peristiwa Uhud. Adapun QS al-Syura :38 umat Islam ditandaskan agar mementingkan musyawarah dalam berbagai persoalan. Format musyawarah dan obyeknya yang bersifat teknis, diserahkan kepada ummat Islam untuk merekayasa hal tersebut berdasarkan kepentingan dan kebutuhan. Menurut Quraisy Shihab, orang yang diajak musyawarah, sesuai hadits Nabi disaat memberi nasihat kepada 'Ali : “Hai 'Ali, jangan musyawarah dengan penakut, ia kan mempersulit jalan keluar. Jangan dengan orang bakhil, karena dapat menghambat tujuanmu. Jangan dengan orang yang ambisi, karena akan menutupi keburukan. Wahai 'Ali, sesungguhnya takut, bakhil dan ambisi adalah bawaan yang sama, itu semua bersumber kepada buruk sangka kepada Allah.”
Etika bermusyawarah bila berpedoman kepada QS Ali-'Imran: 159 dapat disimpulkan sebagai berikut :
a) Bersikap lemah lembut
b) Mudah memberi maaf, jika terjadi perbedaan argumentasi yang sama-sama kuat dan
c) Tawakkal kepada allah. Hasil akhir dari musywarah kemudian diaplikasikan dalam bentuk tindakan, yang dilakukan secara optimal, sedangkan hasilnya diserahkan kepada kekuasaan allah swt.
Demokrasi, berasal dari bahasa Yunani demos artinya rakyat, kratein berarti pemerintahan. Kemudian dimaknai kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat. Abraham Lincoln selanjutnya mengartikan demokrasi adalah bentuk kekuasaan yang berasal dar rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ciri ini mensyaratkan adanya partisipasi rakyat untuk memutuskan masalah serta mengontrol pemerintah yang berkuasa. Menurut Sadek J. Sulaiman demokrasi memiliki prinsip kesamaan antara seluruh manusia, tidak ada diskriminasi berdasarkan ras- suku, gender, agama ataupun status sosial. Sadek kemudian memerinci norma-norma demokrasi sebagai berikut :
1. Kebebasan berbicara atau mengemukakan pendapat.
2. Pelaksanaan pemilu (seperti di Indonesia Luber dan Jurdil).
3. Kekuasaan dipegang oleh mayoritas dengan tidak mengenyampingkan minoritas.
4. Parpol memainkan peranan penting dalam negara, rakyat bebas menyalurkan aspirasi politiknya.
5. Memisahkan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang berdiri sejarar, sehingga cheks and balance dapat diwujudkan.
6. Setiap individu menjunjung tinggi supremasi ( tunduk dan taat dibawah) hukum, tanpa memandang status sosial/kedudukan.
7. Individu atau kelompok bebas melakukan melakukan perbuatan, bebas mempuinyai hak milik, tidak boleh diganggu pihak lain.
Sistem kenegaraan yang dianjurkan oleh Islam harus memegang prinsip syura. Allah SWT telah mewajibkan berlakunya sistern syura kepada umat manusia dalam dun ayat Al-Quran. Teks kedua ayat tersebut cukup jelas dalam mewajibkan untuk mengikuti prinsip syura. Ayat pertama disampaikan dalam bentuk perintah terhadap Rasulullah saw. Untuk menjalankan syura. Jika demikian, tentu umatnya lebih pantas untuk diperintah melakukannya. Sementara ayat yang kedua menerangkan bagaimana sifat utama dari kaum muslimin dalam menghadapi berbagai persoalan dan memutuskan permasalahan dengan selalu saling memahami satu sama lainnya dan saling tukar pikiran melalui syura.



Firman Allah SWT, dalam surah Ali Imran : 159, yaitu

Artinya : "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap kerns lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karen itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu..”.
Dalam ayat itu menjelaskan bahwa salah satu sifat orang mukmin diantara yang lain adalah bermusyawarah dengan yang lainnya.
Ada juga beberapa hadits yang menyuruh dan memperkuat pentingnya bermusyawarah, juga menjelaskan keutamaannya. Rasulullah saw bersabda; " minta bantuanlah dalam menyelesaikan permasalahan kalian melalui musyawarah." .. tidak akan berhasil seorang yang hanya mengikuti pendapatnya sendiri dan tidak ada seorangpun yang akan hancur hanya karena bermusyawarah.".
Adapun perbedaan Syura dan Demokrasi adalah :
• Syura tidak memutlakkan pengambilan keputusan berdasarkan suara mayoritas, sedangkan demokrasi berdasarkan suara mayoritas.
• Kontak sosial antara pemimpin dan rakyat dalam syura mengacu pada perjanjian “ilahi”. Sementara demokrasi tidak.
• Pada sistem demokrasi semua dapat dibicarakan, sementara syura memberikan batasan-batasan tertentu.

Pembaharuan Pemikiran Islam di Turki

Pembaharuan Pemikiran Islam di Turki
Pembaharuan di Turki sudah dimulai sejak Sultan Mahmud II (1785—M) berkuasa. Sultan ini secara radikal memulai gerakannya merombak struktur pengelolaan kenegaraan antara eksekutif dan yudikatif. Di bidang hukum, ia memilih antara urusan hukum Islam dan hukum Barat (sekuler). Selain pembaharuan di bidang militer, ia juga merubah kurikulum pendidikan menjadi lebih sesuai dengan materi-materi bacaan dari Barat. Banyak pelajar yang atas perintahnya dikirim untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi ke Eropa. Ide-ide pembaharuannya ini kemudian dilanjutkan oleh gerakan Tanzimat dengan tokoh sentralnya Mustafa Rasyid Pasya (1800—M) dan Mustafa Sami. Selain tokoh-tokoh tersebut, Shadiq Rif’at (1807—M) merupakan figur terkemuka yang menyerukan perlunya jaminan hak-hak asasi bagi warga negara di samping keharusan pemerintah untuk bersikap demokratis dan tidak korupi agar tercipta kemakmuran dan kemajuan. [1]
Ide-ide pembaharuan Tanzimat selanjutnya diusung oleh gerakan Usmani Muda yang kritis terhadap absolutisme kekuasaan kerajaan Turki dengan tokohnya: Ziya Pasya (1825—M) dan Namik Kemal (1840-1888 M). Gerakan pada puncaknya bermaksud menumbangkan kekuasaan Sultan Abdul Hamid yang berakhir kegagalan. Sebab-sebab kegagalannya antara lain:
1. Ide yang diusungnya tidak sepenuhnya terpahami oleh kalangan istana;
2. Gerakannya tidak memiliki asas dukungan yang cukup dari kalangan menengah yang bisa menjembataninya berhubungan dengan kalangan lapisan bawah. Jadi cenderung bersifat elitis dan eksklusif;
3. Tidak adanya kekuatan yang cukup untuk menandingi pilar-pilar kekuasaan Sultan.
Dengan semakin absolutnya kediktatoran Sultan, memicu munculnya kaum oposan dari beragam kalangan. Salah satunya adalah gerakan Turki Muda di bawah kepemimpinan Ahmed Riza, Mehmed Murad dan Pangeran Sihabuddin. Dari ketiga tokoh yang telah akrab bersentuhan dengan ide-ide Barat ini lahir ide-ide rekonstruksi Turki menjadi negara konstitusional dengan struktur yang terdesentralisasi. Jalur pendidikan tetap menjadi prioritas sebagai instrumen perubahan yang vital. Pemuka Turki Muda tersebut kemudian bergabung bersama kalangan militer dan elemen lainnya dalam kelompok Persatuan dan Kemajuan (Ittihad ve Terekki) yang menginisiasi pemberontakan tahun1908 M.
Sultan Abdul Hamid akhirnya menerima tuntutan untuk mengadakan pemilu untuk membentuk parlemen yang kemudian diketuai oleh Ahmed Riza. Peristiwa politik tersebut mempengaruhi stabilitas negara, dengan tanpa dukungan dari kelompok ulama konservatif dan tarekat Bektasyi yang berpengaruh, maka Sultan Mehmed V akhirnya naik ke tampuk kekuasaan. Pemilu selanjutnya diadakan kembali tahun 1912 M yang dimenangkan oleh kelompok Ittihad ve Terekki. Kekuasaan selanjutnya dipegang oleh wakil dari kalangan militer di bawah Enver Pasya, Jemal Pasya, dan Talat Pasya. Modernisasi Turki berlangsung kembali di segala aspeknya.
Dari sejarah pembaharuan Turki selanjutnya didapati tiga orientasi gerakan yang berbeda:
1. Tradisionalis, yang kukuh dengan ide Islamisme dan perlu tegaknya pemerintahan Islam. Tokoh utamanya adalah Mehmed Akif (1870-1938 M),
2. Nasionalis, yang mengembangkan ide pan-Turkisme yang bercita-cita tegaknya negara Turki yang memiliki identitas kultural otentik yang khas dan berbeda dari masyarakat lainnya. Tokoh sayap gerakan ini adalah Zia Gokalp (1875-1924 M),
3. “Modernis”, yang bereaksi terhadap kelompok tradisionalis dengan mengusung Islam rasional yang akrab dengan ide-ide Barat. Mereka menyerukan perlunya masyarakat Turki mengambil pola Barat bagi kemajuan negerinya.
Dalam banyak hal ketiga aliran ini memiliki perbedaan pandangan yang khas. Dalam soal institusi kenegaraan misalnya, kaum tradisionalis melihat perlunya negara Islam yang menerapkan hukum-hukum Tuhan. Kaum modernis justru menganjurkan pemisahan antara agama dan negara. Sementara kaum nasionalis lebih melihat pada urgensitas langkah yang dapat mereduksi peran mahkamah syari’ah di bawah Syaikh al-Islam yang terlampau berlebihan.
Dalam bidang ekonomi, kaum modernis menganjurkan adopsi sistem kapitalisme dan liberalisme yang dikecam oleh kaum tradisionalis sebagai sistem yang sama buruknya dengan sosialisme dan komunisme. Khusus terkait bunga bank, kaum nasionalis tidak sepakat dengan kaum tradisionalis tentang keharamannya. Menurut mereka, yang diharamkan oleh al-Qur’an adalah bunga dalam transaksi jual-beli uang, bukan bunga bank dari menyewakan atau meminjamkan uang.
Sementara di bidang pendidikan, kaum modernis menuntut kebebasan pendidikan dan mimbar akademik dengan memasukkan materi-materi filsafat, logika dan pengetahuan Barat lainnya. Sisi lain, kaum tradisionalis yang takut erosi terhadap identitas Islam karena pengaruh ilmu-ilmu Barat cenderung mempertahankan sistem pendidikan madrasah. Disini kaum nasionalis lebih berkeinginan membangun sistem pendidikan yang berakar dari nilai-nilai kultural yang asli dari bangsa Turki. [2]
Khusus mengenai masalah perempuan, kalangan modernis menyerukan ide-ide persamaan hal termasuk menyerang “kerudung” sebagai simbol yang memasung perempuan. Pemahaman ini jelas ditentang keras oleh kalangan tradisionalis. Adapun kaum nasionalis tampaknya berpihak pada pemikiran atas perlunya partisipasi publik bagi perempuan di bidang sosial maupun ekonomi. Soal poligami, kaum nasionalis menyerukan penghapusannya.
1. A. Latar Belakang
Pembabakan Sejarah Peradaban Islam dibagi dalam tiga Jaman. Jaman kelahiran Islam di masa Nabi Muhammad saw; Jaman perluasan ajaran Islam hingga ke luar Jazirah Arab dimasa Khulafa ar-Rasyidin dan khalifah sesudahnya; jaman Kejayaan pada masa Khilafah Abbasiyah dan Fatimiyah; Jaman kemunduran hingga dihapuskannya institusi Khilafah Islamiyah di Turki pada awal abad ke-20 M.
Berbicara tentang penghapusan institusi kekhilafahan Islam, maka kita akan bertemu dengan sebuah nama yang tidak asing lagi yaitu Mustafa Kamal Attaturk. Ketika kita belajar mata pelajaran Sejarah, dulu, Kamal Attaturk ini dikenal sebagai orang yang sangat berjasa dalam merubah wajah Turki dari Islam menjadi sekuler (modern).
1. B. Permasalahan
Berbicara mengenai Mustapa Kamal dan Pembaharuannya di Turki, ada banyak versi sejarah yang akan ditemukan. Disatu sisi akan ditemukan banyak pengkhianatan yang dilakukan Mustapa Kamal terhadap Islam. Namun disisi lain akan banyak pula sanjungan dan pujaan terhadapnya. Sebenarnya siapakah sosok Mustapa Kamal yang sebenarnya ?
1. C. Tujuan
Tujuan kami menyususn makalah ini adalah untuk mencoba sedikit menguraikan sekilas tentang kehidupan Bapak Turki (Mustapa Kamal), dan termasuk hasil pemikiran-pemikirannya terhadap perubahan Turki kuno menuju Turki modern.
BAB II
PEMBAHASAN
a) Biografi Kamal Attaturk

Mustafa Kamal lahir tahun 1880 masehi, di kota Salanik (kota Yahudi) daerah Macedonia yang berpenduduk 140.000 jiwa. Delapan puluh ribu diantaranya adalah orang-orang Yahudi Espana, dan dua puluh ribu lainnya lagi adalah orang-orang Yahudi Al-Dunama, yakni kaum Yahudi yang berpura-pura masuk Islam. Secara resmi Mustafa Kamal Attaturk adalah anak Ali Ridha. Sedangkan ibunya bernama Zubaidah. Namun, ada yang mengatakan konon, Zubaidah, ibu Mustafa Kamal, hamil dari hasil perzinahannya dengan seorang pria bernama Abdumusin Agha. Mengingat dia pernah bekerja pada salah satu galangan kapal di kota salanik.
b) Latar Belakang Pendidikan dan Militer
Pertama kali ia belajar di sekolah agama. Kemudian oleh ibunya ia diikutkan ke sekolah modern. Sepeninggal bapaknya, Mustafa Kamal dibawa ibunya ke ladang pertanian pamannya Hussain Agha, dekat kota Salanik. Di sana, dia bekerja membantu pamannya membersihkan kandang, mencarikan makanan domba dan menjaga pertanian. Kemudian ibunya memindahkan disebuah sekolah di kota Salanik. Di kota tersebut, Mustafa sering berkelahi dengan murid-murid yang lain sehingga dia dipukul oleh salah seorang guru. Maka larilah Mustafa Kamal dari sekolah tersebut dan tidak kembali lagi.
Tahun 1893, dia masuk ke sekolah militer di kota Salanik. Setelah empat tahun dia lulus dari sekolah ketentaraan tingkat menengah di Monester, yakni di kota Balkan. Kota dimana fitnah bergolak dengan hebatnya menentang sistem kekhilafahan. Lulus dari Monester tahun 1899. kemudian dikirim ke Akademi Militer stambul. Lulus dari akademi tersebut tahun 1902 dia melanjutkan pendidikan di Akademi Staf Komando Militer, lulus tahun 1905. Selanjutnya dia ikut bergabung dengan pasukan Divisi 5 di Damaskus, sebagai perwira dengan pangkat Mayor. Saat itu usianya 25 tahun. Dalam tugasnya di Damaskus, dia dimasukkan dalam Batalyon kaveleri 30. Di sana, ia tinggal selama dua tahun, sehingga pangkatnya naik menjadi Aghas (pangkat antara mayor dan letkol). [3]
Ia akhirnya pindah ke Salanik di kodam III. Di sana ia masuk anggota kelompok Al Ittihad wa At Turaqqi. Dalam kelompok tersebut ia menghadapi beberapa rival yang kuat, seperti Anwar, dan Thal’at. Tahun 1910, ia dikirim ke Perancis untuk mengikuti latihan militer. Sepulangnya dari Perancis, ia diangkat menjadi Direktur Pendidikan Perwira. Karirnya terus menanjak setelah berhasil memenangkan salah satu peperangan di Ghalipuli, sampai akhirnya ia diangkat sebagai panglima pasukan di Palestina. Di kota Al-Quds, Mustafa Kamal mengadakan perjanjian dengan Allenby, panglima pasukan Inggris.
Pihak Inggris telah bersepakat dengan Mustafa kamal supaya ia menarik pasukannya dari Palestina dan memberi kesempatan kepada Allenby untuk masuk bersama pasukannya dalam keadaan tenang dan damai.dengan demikian pasukan Allenby dapat memukul pasukan Turki keempat dengan pukulan yag mematikan setelah Allenby mundur dengan membawa kegagalan di pintu As Salth, yakni setelah dikalahkan oleh Jamal Pasya, panglima pasukan Turki keempat. Maka akibat pengkhianatan ini Mustafa kamal, menjadikan kehancuran bagi kekuatan turki untuk selama-lamanya. Hasil pertemuan itu sangatlah memilukan: “Jumlah tawanan mendekati seratus ribu tentara, di luar jumlah mereka yang mati oleh peluru orang-orang Druze dan Armenia.”
c) Kancah Politik
Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional – dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya – sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.
Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.
Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.
d) Ideologi dan Pembaharuan Kamal Attaurk
Pada Maret 1924 terjadilah penghapusan wilayah. Karena tidak puas Ataturk melanjutkan wasiat majikannya. Maka pada tahun 1925 keluarlah peraturan yang melarang berbusana islami bagi laki-laki dan perempuan, merubah salam “assalamu’alaikum” dengan anggukan kepala.
Pada tahun 1928 keluar keputusan tentang penghapusan pelajaran agama, merubah bacaan al-qur’an dan azan dengan bahasa Turki, mengganti huruf arab dengan latin, menyamakan hak waris antara laki-laki dengan wanita. Selain itu ada pula beberapa pembaharuan yang ia lakukan diantaranya :
• Membolehkan lelaki memakai celana panjang dengan syarat pakai tie dan topi (sesuai dengan kehendak barat) .
• Beliau pernah menegaskan bahwa “negara tidak akan maju kalau rakyatnya tidak cenderung kepada pakaian modern”
• Mengarahkan Al-Quran dicetak dalam bahasa Turki .
• Menukar azan ke dalam bahasa Turki. Bahasa Turki sendiri diubah dengan membuang unsur-unsur Arab dan Parsi.
• Satu ucapan beliau di bandar Belikesir di mana beliau dengan terang-terangannya mengatakan bahawa agama harus dipisahkan dengan urusan harian dan perlu dihapuskan untuk kemajuan.
• Agama Islam juga di buang sebagai Agama resmi negara.
• Mengubah undang-undang perkahwinan berdaftar berdasarkan undang-undang barat.
• Menukar Masjid Ayasophia kepada museum, ada sebagian masjid dijadikan gereja.
• Membatalkan undang-undang waris,faraid secara Islam .
• Menghapus penggunaan kalendar Islam dan menukarkan huruf Arab kepada huruf Latin.
Selain itu, banyak juga pembaharuan yang dilakukan oleh Mustapa Kamal dalam menjalankan pemerintahan di Turki, antara lain seperti dalam sidang Majlis Agung Nasional tahun 1920, ia menjadi Ketia Majlis dan hasil dari siding tersebut antara lain :
Kekuasaan tertinggi terletak ditangan rakyat Turki.
Majlis Agung nasional merupakan perwakilan rakyat tertinggi.
Majlis Agung NAsional berfungsi sebagai badan legislative dan eksekutif.
Majlis Negara yang anggotanya dipilih dari Majlis Nasional Agung akan menjalankan tugas pemerintahan.
e) Akhir Hayat
Pada saat ia terbaring sakit, menunggu ajalnya. Mustafa kamal bersikeras untuk mengangkat duta Inggris, Peres Lorraine sebagai presiden penggantinya. Sunday Times, hari Jum’at 15 Februari 1968 menulis berita dengan judul, “Kamal Attaturk minta kepada duta Inggris untuk menggantikannya sebagai Presiden republik Turki.” Mustafa Kamal terserang penyakit dalam (sirrosis hepatis), disebabkan Alkohol yang terkandung dalam khamer. Disamping itu ia juga terserang penyakit kelamin (Gonnorrhea/GO). Cairan yang berkumpul pada bagian dalam perutnya (Ascites), sehingga para dokter terpaksa mencoblosnya dengan jarum. Karena perutnya membusung dan kedua kakinya membengkak. Hari demi hari kekuatannya semakin melemah, mukanya mengecil, darahnya berkurang, tubuhnya memucat seputih tulangnya. Akhirnya dia pun tak mampu bergerak sendiri. Selama sakit, ia berteriak-teriak sehingga teriakannya menerobos sampai ke teras istana yang ditempatinya yakni Istana Dulamah boghja di Konstantin.
Akhirnya, tulang dia hanya berbalut kulit. Bobotnya hanya tinggal 48 kilogram saja ketika ia mati. Gigi-giginya tanggal, mulutnya hampir bertemu dengan kedua alis matanya, dan dia berwasiat supaya jenazahnya tidak usah dishalati. Kemudia pada hari kamis tanggal 10 Nopember 1938 jam 09.05, pergilah Attaturk dari alam dunia dalam keadaan dilaknat di langit dan di bumi.
Mustafa mati dengan meninggalkan Turki dalam keadaan miskin dan gersang. Dengan utang luar negeri yang setiap hari semakin bertambah. Laju infasi mencapai 42-60% pada tahun 1970. pengangguran mencapai 20% dari keseluruhan jumlah penduduk. Pada tahun 1970, utang negara sebanyak 21 milyar Dollar US. Pemerintah tunduk kepada Bank Internasional. Mereka mendevaluasi nilai lira turki sampai 8 kali. Pada tahun 1980, angka suku bunga membumbung sampai 30%. Dan ini adalah angka suku bunga tertinggi di dunia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Mustapa Kamal merupakan salah satu tokoh pembaharu dan pemikir di Turki. Memulai karir dibidang militer sampia akhirnya ia terjun di kancah politik dengan mengusung Gerakan Ansionalisme dan Westernisme. Tujuan utamanya ialah untuk merubah wajah Turki kepada kemodern-an seperti Bangsa Barat. Hal ini ia lakukan ketika ia memulai karir di kancah politik, sampai membentuk parlemen dan terpilih menjadi Presiden Turki yang pertama.
Ada banyak sekali pembaharuan yang telah dilakukan oleh Mustapa Kamal attaturk dalam merubah Turki dari system pemerintahan Kerajaan kepada Turki modern yang bersiste Republik. Selain itu, beliau juga banyak menghasilkan pemikiran-pemikiran yang diadopsi dari pemikiran Nasionalisme arab dan pemikiran Barat untuk meruibah wajah Turki menjadi modern dan maju.