Sabtu, 29 Januari 2011

Pengertian dan Konsep Metode Harga Pokok Pesanan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Konsep Metode Harga Pokok Pesanan
Metode harga pokok pesanan adalah suatu metode pengumpulan biaya produksi untuk menentukan harga pokok produk pada perusahaan yang menghasilkan produk atas dasar pesanan. Tujuan dari penggunaan metode harga pokok pesanan adalah untuk menentukan harga pokok produk dari setiap pesanan baik harga pokok secara keseluruhan dari tiap-tiap pesanan maupun untuk per satuan.
Dalam metode ini biaya-biaya produksi dikumpulkan untuk pesanan tertentu dan harga pokok produksi per satuan dihitung dengan cara membagi total biaya produksi untuk pesanan tersebut dengan jumlah satuan produk dalam pesanan yang bersangkutan. Pada pengumpulan harga pokok pesanan dimana biaya yang dikumpulkan untuk setiap pesanan/kontrak/jasa secara terpisah dan setiap pesanan dapat dipisahkan identitasnya. Atau dalam pengertian yang lain, penentuan harga pokok pesanan adalah suatu sistem akuntansi yang menelusuri biaya pada unit individual atau pekerjaan, kontrak atau tumpukan produk yang spesifik.

B. Karakteristik Biaya Pesanan
- Sifat produksinya terputus-putus tergantung pada pesanan yang diterima
- Bentuk produk tergantung dari spesifikasi pemesan
- Pengumpulan biaya produksi dilakukan pada kartu biaya pesanan, yang memuat rincian untuk masing-masing pesanan.
- Total biaya produksi dikalkulasi setelah pesanan selesai
- Biaya produksi epr unit dihitung, dengan membagi total biaya produksi dengan total unit yang dipesan.
- Akumulasi biaya umumnya menggunakan biaya normal
- Produk yang sudah selesai langsung diserahkan pada pemesan.



C. Kartu Biaya Pesanan
Kartu biaya pesanan adalah dokumen dasar dalam penentuan biaya pesanan yang mengakumulasi biaya-biaya untuk setiap pesanan. Karena biaya diakumulasi setiap batch atau loy dalam sistem biaya pesanan menunjukkan bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung serta biaya overhead pabrik yang dibebankan untuk suatu pesanan. File kartu biaya pesanan yang belum selesai dapat berfungsi sebagai buku besar tambahan untuk persediaan dalam proses

Syarat penggunaan Metode Harga Pokok Pesanan:
 Masing-masing pesanan, pekerjaan, atau produk dapat dipisahkan identitasnya secara jelas dan perlu dilakukan penentuan harga pokok pesanan secara individual.
 Biaya produksi harus dipisahkan ke dalam dua golongan, yaitu: biaya langsung (BBB & BTKL) dan biaya tak langsung (selain BBB & BTKL).
 BBB dan BTKL dibebankan/diperhitungkan secara langsung terhadap pesanan yang bersangkutan, sedangkan BOP dibebankan kepada pesanan atas dasar tarif yang ditentukan di muka.
 Harga pokok setiap pesanan ditentukan pada saat pesanan selesai.
 Harga pokok per satuan produk dihitung dengan cara membagi jumlah biaya produksi yang dibebankan pada pesanan tertentu dengan jumlah satuan produk dalam pesanan yang bersangkutan.

Untuk mengumpulkan biaya produksi tiap pesanan digunakan Kartu Harga Pokok (Job Cost Sheet), yang merupakan rekening/buku pembantu bagi rekening kontrol Barang Dalam Proses.

D. Pengumpulan Biaya Produksi dalam Metode Harga Pokok Pesanan

1) Pencatatan Biaya Bahan Baku (BBB)
Dibagi dua prosedur, yaitu :
 Prosedur pencatatan pembelian bahan baku, jurnalnya:
Persediaan Bahan Baku xxx
Utang Dagang / Kas xxx

 Prosedur pencatatan pemakaian bahan baku, menggunakan metode mutasi persediaan (perpetual). Dalam setiap pemakaian bahan baku harus diketahui pesanan mana yang memerlukannya. Jurnalnya:
Barang Dalam Proses-Biaya Bahan Baku xxx
Persediaan Bahan Baku xxx

2) Pencatatan Biaya Tenaga Kerja Langsung (BTKL)

 Diperlukan pengumpulan dua macam jam kerja, yaitu :
 Jam kerja total selama periode kerja tertentu.
 Jam kerja yang digunakan untuk mengerjakan setiap pesanan.

 Perusahaan harus menyelenggarakan kartu hadir masing-masing karyawan, untuk mengumpulkan informasi jam kerja total selama periode kerja tertentu, untuk pembuatan Daftar Upah. Disamping itu, perusahaan harus mencatat penggunaan jam kerja masing2 karyawan untuk mengerjakan pesanan. (Masing2 karyawan dibuatkan Kartu Jam Kerja / Job Time Ticket)

 Jurnal untuk pembagian upah:
Barang Dalam Proses-Biaya Tenaga Kerja Langsung xxx
Gaji dan Upah xxx
3) Pencatatan Biaya Overhead Pabrik (BOP)
 BOP dikelompokkan menjadi beberapa golongan, yaitu :
 Biaya Bahan Penolong
 Biaya reparasi dan pemeliharaan, berupa pemakaian persediaan spareparts dan persediaan supplies pabrik
 Biaya tenaga kerja tak langsung
 Biaya yang timbul sebagai akibat penilaian terhadap aktiva tetap (contoh: biaya penyusutan aktiva tetap)
 Biaya yang timbul sebagai akibat berlalunya waktu (contoh: terpakainya asuransi dibayar di muka)
 Biaya overhead pabrik lain yang secara langsung memerlukan pengeluaran tunai (contoh: biaya reparasi mesain pabrik, biaya listrik)

 BOP dalam metode harga pokok pesanan harus dibebankan kepada setiap pesanan berdasarkan tarif yang ditentukan di muka.

 Tarif BOP ditentukan pada awal tahun/periode dengan cara berikut ini :

Tarif BOP = Taksiran jumlah BOP selama 1 periode
Jumlah Dasar pembebanan*
Dasar Pembebanan BOP:
 Satuan produk
 Biaya Bahan Baku
 Biaya Tenaga Kerja Langsung
 Jam Tenaga Kerja Langsung
 Jam Mesin

 BOP yang sesungguhnya terjadi dikumpulkan selama satu tahun yang sama, kemudian pada akhir tahun dibandingkan dengan yang dibebankan kepada produk atas dasar tarif
 Pencatatan BOP yang Dibebankan kepada produk:
Barang Dalam Proses-Biaya Overhead Pabrik xxx
Biaya Overhead Pabrik Dibebankan xxx
 Jurnal penutupan rekening Biaya Overhead Pabrik yang Dibebankan (untuk mempertemukan BOP Dibebankan dengan BOP Sesungguhnya)
Biaya Overhead Pabrik Dibebankan xxx
Biaya Overhead Pabrik Sesungguhnya xxx
 Pencatatan BOP yang Sesungguhnya:
1. Pemakaian Bahan Penolong:
Biaya Overhead Pabrik Sesungguhnya xxx
Persediaan Bahan Penolong xxx
2. Pencatatan Biaya Tenaga Kerja Tak langsung:
Biaya Overhead Pabrik Sesungguhnya xxx
Gaji dan Upah xxx

4) Pencatatan Produk Selesai
 Biaya produksi yang telah dikumpulkan dalam Kartu Harga Pokok dijumlah dan dikeluarkan dari rekening Barang Dalam Proses dengan jurnal sbb:
Persediaan Produk Jadi xxx
Barang Dalam Proses-Biaya Bahan Baku xxx
Barang Dalam Proses-Biaya Tenaga Kerja Langsung xxx
Barang Dalam Proses-Biaya Overhead Pabrik xxx
 Harga Pokok Produk jadi dicatat dalam Kartu Persediaan (Finish Goods Ledger Card) dan Kartu Harga Pokok Pesanan tersebut dipindahkan ke dalam arsip Kartu Harga Pokok Pesanan yang telah selesai.

E. Perbedaan Antara Akuntansi Perusahaan Manufaktur Dan Akuntansi Perusahaan Dagang
Akuntansi perusahaan manufaktur dan akuntansi perusahaan dagang berbeda dalam hal rekening-rekening yang disajikan dalam laporan keuangan, yaitu neraca dan laporan laba-rugi. Disamping itu dalam perusahaan manufaktur harus membuat laporan biaya produksi. Perbedaan keduanya diuraikan sebagai berikut:
Perbedaan dalam neraca
Di dalam neraca perusahaan dagang, hanya terdapat satu rekening persediaan barang, yaitu Persediaan barang dagangan, sedangkan rekening persediaan dalam neraca perusahaan manufaktur meliputi persediaan bahan baku, persediaan bahan penolong, persediaan barang dalam proses, persediaan barang jadi dan persediaan suplai perlengkapan pabrik.
Perbedaan dalam laporan laba rugi
Perbedaan dalam laporan laba-rugi antara perusahaan dagang dan perusahaan manufaktur terletak pada perhitungan harga pokok penjualan. Pada perusahaan dagang barang tersedia untuk dijual diperoleh dengan menjumlahkan persediaan awal dan pembelian bersih, sedangkan pada perusahaan manufaktur diperoleh dengan menjumlahkan persediaan awal barang jadi dan harga pokok produksi.
F. Harga Pokok Produksi
Harga pokok produksi adalah biaya yang terjadi dalam rangka untuk menghasilkan barang atau produk jadi yang siap untuk dijual. Biaya produksi dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu : biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan biaya overhead pabrik.
1. Biaya Bahan Baku
Biaya bahan baku adalah Bahan yang digunakan untuk menghasilkan barang jadi dan secara fisik menjadi bagian dari produk tersebut. Misalnya, pemakaian bahan berupa kulit, benang, paku, lem dan cat pada perusahaan sepatu.
2. Biaya Tenaga Kerja Langsung
Merupakan biaya yang dibayarkan kepada tenaga langsung Istilah tenaga kerja langsung digunakan untuk menunjuk tenaga kerja (karyawan) yang terlibat langsung dalam pengolahan bahan langsung atau bahan baku menjadi barang jadi. Misalnya upah yang dibayarkan kepada karyawan bagian pemotongan atau bagian perakitan atau bagian pengecatan pada perusahaan mebel.
3. Biaya Overhead Pabrik
Biaya overhead pabrik (biaya produksi tidak langsung) adalah biaya produksi selain biaya bahan baku dan tenaga kerja langsung. Misalnya biaya tenaga kerja tidak langsung, bahan pembantu atau penolong, reparasi dan pemeliharaan mesin, pemeliharaan gedung pabrik, biaya listrik pabrik, biaya penyusutan mesin dan lain-lain.
G. Manfaat Informasi Harga Pokok Produksi Per Pesanan

Dalam perusahaan yang produksinya berdasarkan pesanan, informasi harga pokok produksi per
pesanan bermanfaat bagi manajemen dalam :
1. Menentukan harga jual yang akan dibebankan kepada pemesan
2. Mempertimbangkan penerimaan atau penolakan terhadap pesanan tertentu.
3. Memantau realisasi biaya produksi
4. Menghitung laba atau rugi tiap pesanan
5. Menentukan harga pokok persediaan barang jadi dan barang dalam proses yang disajikan
dalam neraca.
Menentukan harga jual yang akan dibebankan kepada pemesan
Perusahaan yang produksinya berdasarkan pesanan memproses produknya berdasarkan spesifikasi yang ditentukan oleh pemesan. Dengan demikian biaya produksi pesanan yang satu akan berbeda dengan biaya produksi pesanan yang lain, tergantung pada spesifikasi yang dikehendaki oleh pemesan. Oleh karena itu harga jual yang dibebankan kepada pemesan sangat ditentukan oleh besarnya produksi yang akan dikeluarkan untuk memproduksi pesanan tertentu.
Mempertimbangkan penerimaan atau penolakan pesanan
Ada kalanya harga jual produk yang dipesan oleh pemesan telah terbentuk di pasar, sehingga keputusan yang perlu dilakukan oleh manajemen adalah menerima atau menolak pesanan. Untuk memungkinkan pengambilan keputusan tersebut, manajemen memerlukan informasi total harga pokok pesanan yang akan diterima tersebut. Informasi total harga pokok pesanan memberikan perlindungan bagi manajemen agar dalam menerima pesanan perusahaan tidak mengalami kerugian.
Memantau realisasi biaya produksi
Jika suatu pesanan telah diputuskan untuk diterima, manajemen memerlukan informasi biaya produksi yang sesungguhnya dikeluarkan di dalam memenuhi pesanan tertentu. Oleh karena itu, akuntansi biaya digunakan untuk mengumpulkan informasi biaya produksi tiap pesanan yang diterima untuk memantau apakah proses produksi untuk memenuhi tertentu menghasilkan total biaya produksi pesanan sesuai dengan yang diperhitungkan sebelumnya.
Menghitung laba atau rugi dap pesanan
Untuk mengetahui apakah suatu pesanan menghasilkan laba atau tidak, manajemen memerlukan informasi biaya produksi yang telah dikeluarkan untuk memproduksi pesanan tertentu. Informasi laba atau rugi tiap pesanan diperlukan untuk mengetahui kontribusi tiap pesanan dalam menutup biaya non produksi dan menghasilkan laba atau rugi. Oleh karena itu, metode harga pokok pesanan oleh manajemen untuk mengumpulkan informasi biaya produksi sesungguhnya keluarkan untuk tiap pesanan guna menghasilkan informasi laba atau rugi tiap pesanan.
Menentukan harga pokok persediaan barang jadi dan batang dalam proses yang disajikan neraca
Pada saat perusahaan dituntut untuk membuat pertanggungjawaban keuangan periodik, manajemen harus menyajikan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi. Di dalam neraca manajemen harus menyajikan harga pokok persediaan barang jadi dan harga pokok yang sampai dengan tanggal neraca masih dalam proses. Untuk tujuan tersebut, manajemen perlu menyelenggarakan pencatatan biaya produksi untuk setiap pesanan. Berdasarkan catatan biaya produksi tiap pesanan tersebut manajemen dapat menentukan biaya produksi yang melekat pada pesanan yang telah selesai diproduksi, namun pada tanggal neraca belum diserahkan kepada pemesan. Di samping itu, berdasarkan catatan itu pula manajemen dapat menentukan harga pokok dari produk yang sampai dengan tanggal penyajian neraca masih dalam proses pengerjaan.
H. Kartu Harga Pokok (Job Order Cost Sheet)
Kartu harga pokok merupakan catatan penting dalam metode harga pokok pesanan, kartu harga pokok ini berfungsi sebagai rekening pembantu yang digunakan untuk mengumpulkan biaya produksi tiap pesanan produk. Biaya produksi untuk pengerjaan suatu pesanan dicatat secara rinci di dalam kartu harga pokok pesanan yang bersangkutan.
Biaya produksi dipisahkan menjadi biaya produksi langsung dan biaya produksi tidak langsung dalam hubungannya dengan pesanan tersebut. Biaya produksi langsung dicatat dalam kartu harga pokok pesanan yang bersangkutan secara langsung, sedangkan biaya produksi tidak langsung dicatat dalam kartu harga pokok berdasarkan suatu tarif tertentu.



























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Metode harga pokok pesanan adalah suatu metode pengumpulan biaya produksi untuk menentukan harga pokok produk pada perusahaan yang menghasilkan produk atas dasar pesanan. Tujuan dari penggunaan metode harga pokok pesanan adalah untuk menentukan harga pokok produk dari setiap pesanan baik harga pokok secara keseluruhan dari tiap-tiap pesanan maupun untuk per satuan.

B. Saran
Kita sebagai Mahasiswa Ekonomi Islam yang sangat berkaitan dengan Akuntansi hendaknya megetahui lagi hal-hal yang berkenaan dengan Akuntansi Biaya, agar kita memang benar benar menjadi seorang akuntan yang bisa digunakan oleh orang banyak terutama dilembaga lembaga yang membutuhkan skill kita. Amiiin.




















DAFTAR PUSTAKA

Mulyadi, 2002. Akuntansi Biaya, Yogyakarta: Aditya Media
RA. Supriyono, 1999. Akuntansi Biaya, Yogyakarta: BPFE
http://www.scribd.com/doc/22691137/BAB-1-SD-3-AKBI

MAQASHID AL-SYARI`AH

BAB II
PEMBAHASAN
TUJUAN PENSYARI`ATAN HUKUM ISLAM (MAQASHID AL-SYARI`AH)

A. Definisi Maqashid Al-Syari`ah
Secara etimologi maqashid al-syari`ah terdiri dari dua kata yakni maqashid dan al-syari`ah. Maqashid bentuk jamak dari maqshid yang berarti tujuan atau kesengajaan.
Sedangkan syariah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut Manna al-Qathan yang dimaksud dengan syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.
Jadi, dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari`ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada umat manusia.
Istilah maqashid al-syari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy-Syatibi yang tertuang dalam karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah :

هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا

“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.

Dari segi bahasa Maqashid syariah berarti maksud dan tujuan disyariatkan hukum Islam, karena itu menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai masalah hikmah dan illat ditetapkannya suatu hukum. Adapun menurut istilah syari’ah, Maqashid syar’iah adalah kemaslahatan yang ditujukan kepada manusia baik di dunia maupun di akhirat dengan cara mengambil manfaat dan menolak mudharat.
Allah Swt menjadikan syariat untuk manusia memiliki tujuan hukum tertentu bukan dengan sia-sia, hal itu telah ditentukan dengan dalil-dalil dalam Al-Qur’an secara pasti. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main.Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui. (Qs. 44:38-39)
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”. (Qs.3:205)
Allah juga mengutus para rasul dan nabi dengan menurunkan syari’at-Nya untuk memberikan peraturan kepada manusia.
“Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (Qs. 57:25)
Syariat Islam diturunkan yaitu untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan yakni semua permasalahan dan akibat-akibatnya.
Syatibi mengemukakan dalam maqoshid syariah bahwa tujuan Allah dalam menetapkan hukum, dengan penjelasan bahwa tujuan hukum itu adalah satu, yakni untuk kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan.
Jadi, tujuan syariat mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat. Karenanya beramal shaleh menjadi tuntutan dunia dan kemaslahatannya merupakan buah dari amal, yang hasilnya akan diperoleh di nanti akhirat. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir”. (Qs. 17:18)
“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik”. (Qs.17:19).
Ayat ini menunjukkan bahwa untuk memperoleh akhirat harus diperolehnya di dunia dengan tuntutan tasyri’. Oleh karenanya orang yang beramal pantas mendapat balasan dari Allah baik di dunia maupun di akhirat.
Tujuan syar’i sebagaimana disebutkan di atas ialah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia dan di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, Al-Qur’an dan hadits.

B. Argumentasi Maqashid al-Syari`ah
Di dalam Al-Qur’an salah satu ayat yang menyatakan bahwa hukum Islam itu diturunkan mempunyai tujuan kemaslahatan bagi manusia.
“ Sungguh telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah memimpin orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan seizinnya dan memimpin mereka ke jalan yang lurus. (Q.S. Al-Maidah : 15-16).
Para ulama fikih dan ushul fikih sepakat bahwa hukum diturunkan untuk kemaslahatan manusia di dunia maupun akhirat. Namun para ulama kalam dalam menanggapi masalah menta`lilkan hukum dengan maslahah – walaupun mereka mangakui bahwa hukum Islam mengandung maslahat – mempunyai tiga pendapat :
• Pendapat pertama : bahwa hukum syara` tidak boleh dita`lilkan dengan maslahah. Jelasnya mungkin Allah mensyariatkan hukum yang tidak mengandung maslahah. Demikianlah pendapat golongan Asy`ariah dan Zahiriah, walaupun mereka mengakui segala hukum syara` disyariatkan untuk kemaslahatan manusia itu.
• Pendapat kedua : maslahah itu dapat dijadikan illat sebagai hukum suatu tanda saja bagi hukum, bukan sebagai suatu penggerak yang menggerakkan Allah menetapkan suatu hukum itu. Demikianlah pendapat sebagian ulama Syafi`iyah dan Hambaliyah.
• Pendapat ketiga : segala hukum Allah dita`lilkan dengan masalah karena Allah telah berjanji sedemikian dan karena Allah Tuhan yang senantiasa mencurahkan Rahmat atas hambanya, menolak daripada mereka kesempitan dan kebinasaan. Pendapat ketiga ini adalah pendapat golongan Mu`tazilah, Maturidiah, sebagian ulama Hambaliah dan semua ulama Malikiah.
Sesungguhnya perbedaan faham ini hanyalah pada teori saja, tapi dalam praktek semua mereka sepakat menetapkan bahwasanya segala hukum syara` adalah wadah kemaslahatan yang hakiki dan tidak ada suatu hukum yang tidak mengandung kemaslahatan.
C. Pembagian Maqashid al-Syari`ah
Tujuan hukum terbagi kepada dua, yaitu yang pertama Qasd Syara` yang bermakna tujuan Pencipta hukum, sedangkan yang kedua Qasd al-Mukallaf (kondisi mukallaf dalam memahami hukum yang terkait dengan maslahah baik tingkatannya, ciri-cirinya, relativitasnya, dan keabsolutannya).
Yang dimaksud dengan daruriyyat adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang esensial dengan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dengan batas tidak terancam kelima eksistensi itu, kelima eksistensi ini disebut dharuriyyat al-khoms. Kebutuhan dalam kelompok hajiyyat tidak termasuk kebutuhan yang esensial melainkan kebutuhan yang menghindarkan manusia dalam hidupnya. Tidak terpelihara kelompok ini tidak mengancam eksistensi keloma pokok di atas tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Kelompok ini erat kaitannya dengan rukshoh dalam ibadah dalam ilmu fiqih. Sedangkan dalam kelompok tahsiniyyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Allah sesuai dengan kepatutan.
Mengetahui urutan peringkat mashlahat di atas menjadi penting artinya, apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya, ketika kemashlahatan yang satu berbenturan dengan kemashlahatan yang lain. Dalam hal ini tentu peringkat pertama, daruriyyat, harus didahulukan daripada peringkat kedua, hajiyyat, dan peringkat ketiga, tahsiniyyat. Ketentuan ini menunjukkan, bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk dalam peringkat kedua dan ketiga, mnakala kemashlahatan yang masuk peringkat pertama terancam eksistensinya.
Misalnya seseorang diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan untuk memelihara eksistensi jiwanya. Makanan yang dimaksud harus makanan halal. Manakala pada suatu saat ia tidak mendapatkan makanan yang halal, padahal ia akan mati kalau tidak makan, maka dalam kondisi tersebut ia dibolehkan memakan makanan ynag diharamkan, demi menjaga eksistensi jiwanya. Makan, dalam hal ini termasuk menjaga jiwa dalam peringkat daruriyyat;hajiyyat. Jadi harus didahulukan memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyathajiyyat. Begitu pula halnya manakala peringkat tahsiniyyathajiyyat, maka peringkat hajiyyat harus didahulukan daripada peringkat tahsiniyyat. Misalnya melaksanakan shalat berjama’ah termasuk peringkat hajiyyat, sedangkan persyaratan adanya imam yang shalih, tidak fasik, termasuk peringkat tahsiniyyat. Jika dalam satu kelompok umat Islam tidak terdapat imam yang memenuhi persyaratan tesebut, maka dibenarkan berimam pada Imam yang fasik, demi menjaga shalat berjama’ah yang bersifat hajiyyat. sedangkan makanan yang halal termasuk memelihara jiwa dalam peringkat daripada peringkat berbenturan dengan peringkat.
Jadi, Allah Swt menetapkan hukum untuk manusia dengan tujuan untuk memperoleh kemaslahatan manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Hal lainnya adalah tolak ukur untuk menentukan baik dan buruknya (manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan mendasar manusia.
Tuntutan kebutuhan bagi manusia bertingkat-tingkat. Secara berurutan, peringkat itu adalah dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat (tersier). Masuk di dalamnya apa yang disebut dengan ad-dhoruriyyat al-khoms atau al-kuliiyat khoms atau dikenal juga dengan Maqashid syar’iyah yang lima yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Tujuan Allah mensyariatkan hukum-Nya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia baik dunia maupun akhirat. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan itu –berdasarkan penelitian para ahli ushul fikih –ada 5 unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, kelima pokok tersebut adalah :
 Agama (hifzh al-din);
 Jiwa (hifzh an-nafs);
 Akal, (hifzh al-`aql);
 Keturunan (hifzh an-nasb) dan ;
 Harta. (hifzh al-mal);
1. Memelihara Agama (hifzh al-din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :
a) Memelihara agama dalam tingkat dharuriyah yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama;
b) Memelihara agama dalam peringkat hajiyah yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghidari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya kita mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c) Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya membersihkan badan, pakaian dan tempat.
2. Memelihara jiwa (hifzh an-nafs)
Memihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dibedakan menjadi tiga peringkat :
a) Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
b) Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c) Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan tata cara makan dan minum.
3. Memelihara akal, (hifzh al-`aql)
Memelihara akal dari segi kepentingannya dibedakan menjadi 3 tingkat :
a) Memelihara akaldalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan meminum minuman keras karena berakibat terancamnya eksistensi akal.
b) Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan.
c) Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.
4. Memelihara keturunan (hifzh an-nasb)
Memelihara keturunan dari segi tingkat kebutuhannya dibedakan menjadi tiga
a) Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyah seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina.
b) Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah.
c) Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat seperti disyaratkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan.
5. Memelihara harta. (hifzh al-mal)
Memelihara harta dapat dibedakan menjadi 3 tingkat :
a) Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah.
b) Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat tentang jual beli tentang jual beli salam.
c) Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.
Guna kepentingan menetapkan hukum kelima unsur tersebut dibedakan menjadi 3 tingkat yaitu :
a) Dharuriyah adalah segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia, dalam arti apabila dharuriah tidak terwujud, maka cederalah kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
b) Hajiyah adalah kebutuhan sekunder, dimana bila tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan.
c) Tahsiniyah adalah tingkat kebutuhan tersier, yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi dharuriyah dan tidak pula menimbulkan kesulitan.


D. Peranan Maqashid al-Syari`ah Dalam Pengembangan Hukum
Pengetahuan tentang maqashid al-syari`ah seperti yang ditegaskan Abdul Wahab al-Khallaf adalah berperan sebagai alat Bantu untuk memahami redaksi al-qur`an dan sunnah, menyelesaikan dalil- dalil yang bertentangan, dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam al-qur`an dan sunnah secara kajian kebahasaan.
Metode istinbat seperti qiyas, istihsan, dan maslahah al-mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqashid al- syariah . qiyas misalnya baru bisa dilaksanakan bila mana dapat ditemukan maqashid al-syari`ahnya yang merupakan alasan logis dari suatu hukum. Sebagai contoh kasus diharamkannya khamar dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqashid al-syari`ah diharamkannya khamar adalah karena sifa memabukkannya yang merusak akal. Dengan demikian yang menjadi alasan logis dari diharamkannya khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri adalah salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode qiyas bahwa setiap yang memabukkan adalah haram.

E. Asas maqasid syariah
Objektif di sebalik penurunan atau penetapan syariah dapat dilihat sendiri menerusi dua sumber utama kepada umat Islam iaitu Al-Qur’an dan hadis.
Ia bertitik-tolak dari firman Allah SWT yang menjelaskan motif kebangkitan junjungan besar Nabi Muhammad SAW melalui firman-Nya: Dan tidak Kami utuskanmu (wahai Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekelian alam. (al-Anbiya’: 107).
Tidak dapat disangkal lagi bahawa perkataan ‘rahmat’ itu bermaksud kebaikan, kemaslahatan dan keharmonian.
Jika kita memerhatikan kejadian alam ini, semuanya dicipta untuk kemudahan dan kepentingan hidup manusia. Begitu juga hukum-hakam syariah.
Maqasid syariah juga dapat dijejaki menerusi ayat-ayat Al-Qur’an. Kita akan mendapati bahawa setiap suruhan dan perintah Allah SWT pastinya akan diakhiri dengan penerangan tentang maslahah (kebaikan) yang akan diperolehi oleh mereka yang melaksanakannya. Begitu juga ayat-ayat yang menyentuh tentang larangan.
Biasanya, ia akan diakhiri dengan peringatan tentang mafsadah (keburukan) yang akan menimpa mereka yang melakukannya.
Sebagai contoh, dalam persoalan solat, Allah SWT jelas menyatakan matlamat dari pensyariatannya adalah supaya dapat mencegah manusia itu dari melakukan maksiat dan penderhakaan kepada Allah SWT dalam kehidupan mereka.
Firman Allah SWT: Sesungguhnya solat itu boleh mencegah daripada perbuatan keji dan mungkar. (al-Ankabut: 45)
Demikian juga dalam persoalan puasa, Allah SWT menjelaskan objektif pensyariatannya kepada umat Nabi Muhammad dan umat nabi-nabi yang terdahulu adalah untuk membentuk jiwa yang bertaqwa kepada Allah SWT.
Firman Allah SWT: Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan ke atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan ke atas orang-orang yang sebelum kamu, semoga kamu (sentiasa) bertakwa. (al-Baqarah: 183)
Begitu juga dari sudut undang-undang, Islam menjelaskan objektif di sebalik pensyariatan qisas terhadap mereka yang melakukan pembunuhan secara sengaja. Firman Allah SWT: Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) kehidupan bagi kamu. (al-Baqarah: 179)
Dari sudut ekonomi pula, Islam sangat menggalakkan supaya umat Islam membudayakan derma, sedekah, hibah, wakaf dan sebagainya untuk berkongsi nikmat harta yang telah Allah SWT kurniakan kepada mereka.
Harta tersebut boleh dimanfaatkan oleh golongan yang tidak berkemampuan untuk membina hidup mereka. Bahkan, Allah SWT mewajibkan umat Islam yang telah cukup syarat-syaratnya untuk membayar zakat kepada asnaf-asnaf.
Objektif pensyariatannya dinyatakan dalam firman Allah SWT: ….. Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya sahaja di kalangan kamu. (al-Hasyr: 7)
F. Faedah-faedah memahami maqashid
Memahami maqasid syara' merupakan unsur penting dalam mengeluarkan hukum.Ini kerana maqasid ialah paksi yang akan memastikan setiap hukum itu akan seiring dengan kehendak dan matlamat Allah mensyariatkannya ke atas manusia. Dengan memahami maqasid atau maqasid syara' dapat menjelaskan lagi tujuan dan hikmah pensyariatan sesuatu hukum samada secara keseluruhannya atau sebahagiannya. Selain itu ia juga dapat memperkembangkan lagi topik-topik perbincangan di dalam perkara-perkara ilmu maqasid seperti maslahah , qiyas,dan sebagainya.
Apa yang menarik ialah jurang perselisihan pendapat antara fuqaha dapat dikurangkan lantas membuang perasaan taasub mazhab yang sebenarnya merugikan umat sendiri. Apa yang penting dalam setiap hukum yang dikeluarkan ialah ianya dapat mencapai dan selari dengan maqasid syara'.

Akhirnya, memahami maqasid akan meyakinkan lagi bahawa islam itu datang untuk memberi maslahah dan kebaikan kepada manusia di dunia dan di akhirat.Justru, individu muslim akan lebih rasional dan bersemangat dalam melakukan suruhan Allah Taala.
G. Kedudukan Maqashid Syara' Dalam Menilai Sesuatu
1) Kedudukan maqashid menurut perspektif syara'
Sebagaimana yang telah dimaklumkan, sesungguhnya dalil-dalil syari’at Islam menegaskan bahawa setiap hukum-hukumnya mempunyai maqashid dan maksud yang tertentu. Sehubungan dengan itu, sudah menjadi makluman umum bahawa sesungguhnya tujuan pensyari’atan itu ialah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Maqashid syara' merupakan kayu ukur dalam menilai sesuatu.Dengan kata lain, dalam memahami sesuatu hukum ianya mestilah seiring dengan maqashid yang telah digariskan oleh syara'.Fenomena ini jelas dilihat di dalam al-Qur’an.dan al-Sunnah..
Jumhur ulama telah berpendapat bahawa hukum-hukum syara' mengandungi hikmah dan maqashidnya yang tersendiri yang mana hanya berkisar tentang menjaga kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Pengamatan terhadap hukum-hukum ini telah menghasilkan satu jalinan kaitan yang rapat antara hukum syara' dan maqashidnya.Justru dalam proses memahami hukum, seorang faqih bukan sahaja perlu memahami dalil-dalil hukum tersebut, malah perlu memandang lebih jauh lagi yaitu aspek maqashid hukum tersebut disyari’atkan. Malah tidak keterlaluan jika dikatakan hukum fiqh tanpa maqashid sama seperti jasad yang tiada ruhnya.
Antara dalil-dalil yang mengukuhkan kedudukan maqashid sebagai hujjah yang mengikat ialah:


 Al-Qur’an al-Karim :
Al-Qur’an al-Karim yang merupakan sumber primer maqashid syara' samada secara langsung ataupun tidak, telah mengajar pengamalnya tentang setiap perkara itu haruslah bermatlamat. Daripada al-Qur’an kita dapat mengetahui maqashid pengutusan rasul-rasul, penurunan al-Qur’an, pentaklifan mukallaf dengan tanggungjawab dan pembalasannya dan maqashid kejadian alam dan manusia .Al-Qur’an telah menjelaskan maqashid penciptaan manusia ialah untuk pengabdian kepada Allah.
Al-Qur’an juga telah mengisbatkan prinsip utama islam diturunkan yaitu untuk menjaga agama, jiwa, akal ,keturunan dan harta.Jika diteliti kesemua hukum islam beredar di bawah naungan lima prinsip utama ini. Al-Qur’an juga telah menentukan banyak maqashid dan hikmah sesuatu hukum disyari’atkan yang seterusnya membentuk teori maqashid itu sendiri.Contohnya Maqashid larangan bersetubuh dengan isteri ketika haid ialah untuk mengelakkan penyakit, maqashid ibadat haji ialah mendapat faedah yang banyak antaranya penyatuan umat islam , maqashid perkahwinan ialah memelihara diri , dapat hidup dalam kasih sayang dan keharmonian, maqashid ibadat puasa ialah menjana sifat ketakwaan, maqashid larangan mendekati zina ialah kerana buruk akibatnya dan lain-lain maqashid yang banyak dinyatakan di dalam al-Qur’an.
Daripada al-Qur’an juga satu rumusan tentang berbagai kaedah fiqh "qawaid fiqhiyyah" dapat dibentuk .Kaedah fiqh ini penting dalam memahami hukum dan mempunyai kaitan rapat dengan maqashid syar'iyyah itu sendiri. Antaranya "Darurat (kesusahan )mengharuskan yang haram" , "setiap kesusahan atau masyaqqah itu diukur dengan seada-adanya", "setiap kesusahan ada kesenangannya", Ini bermakna maqashid mempunyai kedudukan yang kukuh dan nilai autoriti yang kuat dalam menilai sesuatu.
Hukum-hukum syara' bukan diturunkan secara serentak dan pelaksanaannya juga adalah secara berperingkat-peringkat.Ini semua tidak lain dan tidak bukan ialah untuk memastikan sesuatu hukum itu akan sampai kepada matlamat ianya disyari’atkan. Sesuatu hukum tidak akan mencapai maqashidnya seikiranya dijalankan pada masa yang salah atau dalam keadaan umat yang masih belum dapat menerima hukum itu.Contohnya pengharaman arak adalah secara berperingkat-peringkat ialah untuk memlihara maslahat umat pada ketika itu yang mana minuman arak adalah adat yang sukar untuk ditinggalkan secara sekaligus.Jika pengharaman dibuat secara drastik, kemungkinan umat islam pada ketika itu tidak dapat mentaati larangan Allah itu dan maqashid pengharamannya tidak dapat dicapai.
Jika diteliti ayat-ayat yang berkait dengan hukum-hukum fiqh, boleh dikatakan ada terselit maqashid di sebalik pensyari’atan hukum tersebut.Bukan setakat itu sahaja, ilmu usul fiqh pula telah menyediakan pelbagai instrumen seperti qiyas dan al-zarai' yang boleh digunakan untuk meluaskan lagi aplikasi objekif di dalam sesuatu hukum kepada hukum yang lain.Walaupun tidak ada dalil yang khusus di dalam al-Qur’an yang menyatakan setiap hukum ada maqashidnya tetapi berdasarkan dalil-dalil secara umumnya dapat kita simpulkan bahawa al-Qur’an sentiasa mengambilkira aspek maqashid dalam menyatakan sesuatu hukum.
 Al-Sunnah
Sebagai sumber kedua terpenting selepas al-Qur’an mempunyai peranan penting dalam menguatkan lagi apa yang dibawa oleh al-Qur’an, mentafsirkan al-Qur’an, menjelaskan dan menghuraikannya agar lebih jelas dan mudah dipraktikkan. Begitu juga di dalam bidang maqashid, al-Sunnah berperanan menguatkan lagi kedudukan maqashid dalam menilai sesuatu.Banyak al-sunnah yang menerangkan tentang sesuatu hukum turut menekankan aspek maqashid hukum tersebut. Contohnya Hadits Rasulullah S.A.W. yang bermaksud : " Sesungguhnya agama itu mudah" Dalam Hadits ini, dengan jelas ianya menunjukkan antara maqashid atau objektif syari’at, yaitu memudahkan ummat, tidak membebankan dan senang untuk diamalkan. Begitu juga dengan sabda baginda : "Rasulullah S.A.W jika diberikan peluang untuk memilih antara dua perkara, maka baginda tidak akan memilih kecuali yang paling mudah selagimana ianya tidak berdosa.." Ianya membawa objektif bahawa islam amat mementingkan kemudahan kepada umatnya. Dalam Hadits yang lain pula, Rasulullah S.A.W bersabda : "Jika tidak kerana menyusahkan umatku nescaya sudah aku suruh mereka bersiwak untuk setiap kali solat". Dari Hadits ini jelas menunjukkan syari’at islam bukan bertujuan untuk menyusahkan umat malah menyenangkan dan memastikan kemaslahatan mereka terjamin.
Autoriti maqashid syara' dalam menilai sesuatu tidak perlu dipertikaikan lagi kerana maqashid syara' bukanlah sesuatu yang asing dari dalil-dalil syara' malah ianya terkandung di dalam dalil-dalil itu sendiri samada secara langsung atau tidak. Hasil penelitian secara kuantitatif dan deduktif terhadap dalil-dalil ini menunjukkan setiap hukum yang disyari’atkan mempunyai maqashid yang tersendiri yang akhirnya tertumpu kepada menjaga kemaslahatan manusia sejagat.
 Ijtihad
Jika ditinjau pada zaman sahabat, mereka telah mengaplikasikan konsep maqashid syara' di dalam setiap ijtihad yang mereka lakukan. Jika dibandingkan dengan zaman Rasulullah S.A.W. penggunaan konsep ini agak lebih meluas memandangkan banyak perkara-perkara baru yang tiada nas mula timbul hasil daripada peredaran zaman dan perkembangan semasa.
Kepahaman para sahabat terhadap al-Qur’an adalah istimewa berbanding dengan kefahaman orang lain kerana mereka bukan sahaja memahami zahir al-Qur’an malah menjangkau tujuan di sebalik penurunannya itu.
Justru kita dapati ijtihad-ijtihad mereka bertepatan dengan kehendak syara' untuk menjamin kemaslahatan umat sejagat.Ahmad b. Hanbal menegaskan perbuatan para sahabat ini berpunca daripada pemahaman mereka tentang maqashid syara' itu sendiri. Antara contoh yang jelas ialah ijtihad mereka untuk mengumpulkan al-Qur’an di dalam satu mashaf, menjatuhkan talak tiga dengan satu lafaz, tidak membahagikan tanah rampasan perang kepada tentera dan banyak lagi.
Begitu juga keadaannya pada zaman tabi'in yang sempat hidup bersama sahabat.Mereka mewarisi secara praktikal pengambilkiraan maqashid syara' dalam mengeluarkan hukum yang berpusat kepada menarik maslahah dan menolak mafsadah. Seterusnya corak berijtihad seumpama ini diwarisi sehingga ke zaman imam mujtahid dan hari ini.
Al-Imam al-Syafi'i mengambil langkah merujuk kepada maqashid syara' sebagai satu kaedah dalam berijtihad apabila tiada nas dari al-Qur’an atau al-Sunnah atau Hadits ahad .Seterusnya, sekiranya beliau tidak mendapati apa-apa maslahah umum atau kepentingan umum beliau akan berpindah kepada sumber ijma'.Al-Imam Al-Ghazali juga mengambilkira aspek maslahah sekiranya ada tanda-tanda ianya adalah maqashid syara'.
Para ulama usul umumnya menyentuh kedudukan maqashid syara' dalam membuat apa-apa penilaian apabila mereka membincangkan masalah tarjih.Menurut mereka dalam proses mentarjih antara pendapat ulama ada beberapa neraca antaranya lebih memudahkan manusia dan lebih hampir dengan maqashid syara'.
Ibn A'syur pula bersependapat sedemikian dan mengukuhkan kepentingan memahami maqashid syara' dalam mengeluarkan hukum.Menurut beliau,proses untuk melakukan ijtihad lima perkara:
1) Memahami nas berdasarkan pengertian bahasa dan istilah syara'.
2) Meneliti kemungkinan nas berkenaan dinasakh atau ditaqyid atau di takhsis atau ada nas lain yang lebih utama daripadanya.
3) Mengenali 'illat hukum dan melakukan qiyas berasaskannya.
4) Menentukan hukum bagi kes yang tidak dinaskan dengan menggunakan kaedah qiyas.
5) Menentukan hukum ta'abbudi seada-adanya.
Menurut beliau, seorang mujtahid perlu memahami maqashid syara' dalam semua peringkat di atas.
2) Kaedah Pengaplikasian Maqashid.
Selepas memahami makna sebenar maqashid, hakikatnya dan juga kedudukannya dalam syari’at, tindakan selanjutnya pula ialah melihat kepada pengaplikasiannya terhadap hukum – hukum ijtihad. Ini kerana memahami maqashid adalah di antara syarat terpenting bagi seorang mujtahid untuk berijtihad dan bagi seorang mufti untuk berfatwa menurut al-Syatibi dan diiktiraf oleh jumhur ulama terkemudian. Ini kerana sebarang ijtihad dan fatwa yang sepi daripada maqashid akan menyebabkan penyimpangan ijtihad ataupun fatwa tersebut daripada landasan syari’at, kerana maqashid seperti yang telah kita katakana – ialah himpunan pemahaman terhadap sejumlah besar daripada dalil – dalil syara'.
Pengaplikasian maqashid dalam ijtihad juga amat penting kerana ianya akan menuju ruh syara' yang bertepatan dengan tabiat dalil – dalil dan syari’at itu sendiri yang sentiasa mengambilkira persoalan menjaga kemaskahatan ummah dan mengelakkan mereka daripada mudharat. Prinsip ini juga merupakan asas atau tunjang kepada tasyri' itu sendiri. Oleh itu pengaplikasian ini amat – amat penting.
Peringkat pengaplikasian maqashid pula boleh kita bahagikan kepada empat peringkat :
1) Memahami maqashid juz'i ataupun illat hukum dan menetapkannya.
2) Melihat kepada pengaplikasian maqashid juz'i atau hukum lain yang boleh diaplikasikan ke atasnya maqashid tersebut.
3) Memahami maqashid kulliy dan menetapkannya dalam semua keadaan hukum melalui kaedah deduktif. 4.Melihat kepada kes – kes baru yang memerlukan hukum dan mempertimbangkannya menurut neraca maqashid kulliy melalui kaedah masalih mursalah dan istihsan, sehingalah mujtahid sampai kepada hukum yang benar – benar menepati maqashid tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Maqasid Syara' atau lebih popular dengan istilah maqasid syar'iyyah merupakan matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syara' dalam pensyariatan hukum.Umumnya maqasid ini tertumpu kepada menarik maslahah dan menolak mafsadah daripada manusia sejagat.
Maqasid syariah merupakan penaung kepada dalil-dalil syara', ia bukannya sesuatu yang asing dari dalil-dalil syara' malah terkandung di dalamnya samada secara langsung atau tidak.
Islam sebagai satu cara hidup adalah sesuai untuk semua bangsa dan setiap ketika bersumberkan wahyu yang berupa dalil-dalil yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan al- Sunnah.Dalil-dalil yang terbatas kuantitinya tidak akan terbatas aplikasinya sekiranya seorang mujtahid itu tidak hanya memahami dalil secara lateral semata-mata , malah melihat kepada aspek maqasid syara' di sebalik pensyariatan sesuatu hukum.
Justru, kepentingan memahami maqasid syara' bagi seorang mujtahid dan pengkaji hukum tidak boleh dikesampingkan untuk memastikan penilaian yang dibuat terhadap sesuatu itu selari dengan kehendak Al-Syari' .

B. SARAN DAN KRITIK
Diharapkan bagi semua kalangan baik itu kita mahasiswa dan masyarakat pada umumnya, untuk dapat mengetahui tentang masyarakat madani dan juga diharapkan saran dan kritiknya dalam rangka penyempurnaan makalah ini, mungkin banyak terjadi kesalahan dalam punulisan maupun pembahasannya dari itu saya sebagai pemakalah mohon ma’af yang sebesar – besarnya.


DAFTAR PUSTAKA

1. Beni Ahmad Saebani, 2008, Filsafat Hukum Islam, CV Pustaka Setia, bandung.
2. Arifin, 2002. Filsafat Umum, Gema Media Pusakatama, Bandung

3. Franz Magnis Suseno, 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius. Jogjakarta.

4. Juhaya S. Pradja, 2003. Filsafat Ilmu, Teraju Mizan, Bandung

5. Miftahul Huda, 2006. Filsafat Hukum Islam. STAIN PO Press, Ponorogo

6. Nasrun Rusli, 1999, Konsep Ijtihad Al Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Logos, Jakarta.

7. Muhammad Khalid Mas'ud, 1995, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin, Al Ikhlas, Surabaya.

8. Taufik Abdullah, 2002, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve , Jakarta.

9. Wahbah Zuhaili,1986, Ushul Fiqh Islamy, Dar al Fikr. Surabaya

10. Muhammad Khalid Mas'ud, 1997, Al Qur'an dan Sunnah Referensi Tinggi Ummat Islam, terj. Robbani Press, Jakarta.

11. Peunoh Dali, 1988, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta:

12. Hasbi Ash-Shidieqie, 1993. Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta.

13. Abdul Mujib, 1990. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, Kalam Mulia, Jakarta.

14. Ahmad Rofi Usman, 1987, Al-Ghazali Sang Sufi Sang Fisolof, Pustaka Salman, Bandung

15. http://maqasid-syariah.blogspot.com/2009/01/maqasid-al-syariah.html

Minggu, 08 Agustus 2010

Hukum Islam Tentang Nikah Siri

Hukum Islam Tentang Nikah Siri
Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.
Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28 Februari, 1009]
Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.
Lalu, bagaimana pandangan Islam terhadap nikah siri? Bolehkah orang yang melakukan nikah siri dipidanakan? Benarkah orang yang melakukan pernikahan siri tidak memiliki hubungan pewarisan?
Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.


Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.

Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.



Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;

حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
• Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.



Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.
Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Akibat Nikah Siri
DAMPAK POSITIF :
1. meminimalisasi adanya sex bebas, serta berkembangnya penyakit AIDS, HIV maupun penyakit kelamin yang lain.
2. Mengurangi Beban atau Tanggung jawab seorang wanita yang menjadi tulang punggung keluarganya.
DAMPAK NEGATIF :
1. Berselingkuh merupakan hal yang wajar
2. Akan ada banyak kasus Poligami yang akan terjadi.
3. Tidak adanya kejelasan status isteri dan anak baik di mata Hukum Indonesia.maupun di mata masyarakat sekitar.
4. Pelecehan sexual terhadap kaum hawa karena dianggap sebagai Pelampiasan Nafsu sesaat bagi kaum Laki-laki.
Maka dengan demikian jika dilihat dari dampak - dampak yang ada, semakin terlihat bahwasannya nikah siri lebih banyak membawa dampak negative di banding dampak positifnya. Serta Akibat hokum dari nikah siri itu sendiri :

1. Sebagai seorang istri kita tidak dapat menuntut suami untuk memberikan nafkah baik lahir maupun batin.
2. Untuk hubungan keperdataan maupun tanggung jawab sebagai seorang suami sekaligus ayah terhadap anakpun tidak ada. “seperti nasib anak hasil dari pernikahan yang dianggap nikah siri itu, akan terkatung-katung.Tidak bisa sekolah karena tidak punya akta kelahiran. Sedangkan, semua sekolah saat ini mensyaratkan akta kelahiran,”
3. Dalam hal pewarisan, anak-anak yang lahir dari pernikahan siri maupun isteri yang dinikahi secara siri, akan sulit untuk menuntut haknya, karena tidak ada bukti yang menunjang tentang adanya hubungan hukum antara anak tersebut dengan bapaknya atau antara isteri siri dengan suaminya tersebut.
Oleh karena itu untuk kaum hawa yang akan ataupun belum melakukan nikah siri sebaiknya berpikir dahulu karena akan merugikan diri kita sendiri. Bagaiamanapun suatu perkawinan akan lebih sempurna jika di legal kan secara hukum agama dan hokum Negara.

Qiyas

1. Pengertian Qiyas
A. Secara Bahasa
Secara bahasa, qiyas merupakan bentuk masdar dari kata qasa- yaqîsu, yang artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu. Misalnya, "Fulan meng-qiyaskan baju dengan lengan tangannya", artinya mengukur baju dengan lengan tangannya; artinya membandingkan antara dua hal untuk mengetahui ukuran yang lain. Secara bahasa juga berarti "menyamakan", dikatakan "Fulan meng-qiaskan extasi dengan minuman keras", artinya menyamakan antara extasi dengan minuman keras.
Dalam perkembanganya, kata qiyas banyak digunakan sebagai ungkapan dalam upaya penyamaan antara dua hal yang berbeda, baik penyamaan yang berbentuk inderawi, seperti pengkiasan dua buah buku. Atau maknawiyah, misalnya "Fulan tidak bisa dikiaskan dengan si Fulan", artinya tidak terdapat kesamaan dalam ukuran.

B. Secara Istilah
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama.
Sadr al-Syari'ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan bahwa qiyas adalah : "Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu' disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja". Maksudnya, 'illat yang ada pada satu nash sama dengan 'illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan 'illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Imama Baidhowi dan mayoritas ulama Syafi'iyyah mendefinisikan qiyas dengan :
"Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.".


2.Rukun Qiyas
Berdasarkan pengertian secara istilah, rukun qiyas dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
1. . Al-ashlu
Para fuqaha mendefinisikan al-ashlu sebagai objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya (al-maqîs 'alaihi), dan musyabbah bih (tempat menyerupakan), juga diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash.
Imam Al-Amidi dalam al-Mathbu' mengatakan bahwa al-ashlu adalah sesuatu yang bercabang, yang bisa diketahui (hukumnya) sendiri.
Contoh, pengharaman ganja sebagai qiyas dari minuman keras adalah dengan menempatkan minuman keras sebagai sesuatu yang telah jelas keharmannya, karena suatu bentuk dasar tidak boleh terlepas dan selalu dibutuhkan]Dengan demiklian maka al-aslu adalah objek qiyas, dimana suatu permasalahan tertentu dikiaskan kepadanya.

2. . Hukmu al-ashli
Atau hukum asli; adalah hukum syar'i yang ada dalam nash atau ijma', yang terdapat dalam al-ashlu.

3. Al-Far'u
Adalah sesuatu yang dikiaskan (al-maqîs), karena tidak terdapat dalil nash atau ijma' yang menjelaskan hukumnya.

4. Al-'illah
Adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu, dan merupakan benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far'u, seperti "al-iskar".





3. Syarat Qiyas
Dari empat rukun qiyas yang sudah diterangkan di atas, dari masing-masing rukun terdapat beberapa hal yang harus dipenuhi sebagai syarat khusus sah-nya qiyas, di antaranya adalah:
1. Syarat al-Ashlu
Ulama ulhul fiqih sepakat bahwa syarat dari al-ashlu adalah suatu hal yang pokok, dan bukan merupakan cabang dari yang lain, atau bukan cabang dari pokok (hukum) yang lain.Menurut jumhur fuqaha, bahawa qiyas harusalah dibangun diatas dalil nash ataupun ijma', hanya saja terjadi perbedaan pendapat di antara mereka tentang bolehnya qiyas yang didasarkan atas ijma'. Sebagian ulama yang tidak setuju mengatakan bahwa qiyas didasarkan dari 'illah yang menjadi dasar disyariatkannya hukum asli, dan hal ini tidak memungkinkan dalam ijma', karena ijma' tidak diharuskan disebutkan adanya wakil (al-far'u). Maka apabila tidak disebutkan al-far'u-nya, tidak mungkin untuk bisa diketahui 'illah qiyas-nya.
2. Syarat Hukmu al-Ashli
Terdapat beberapa syarat dalam hukmu al-ashli atau hukum asli,diantaranya:
a. Harus merupakan hukum syar'i, karena tuntutan dari qiyas adalah untuk menjelaskan hukum syar'i pada al-maqîs atau objek qiyas.
b. Harus merupakan hukum syara' yang tetap (tidak dihapus). Karena dalam penetapan hukum dari al-ashlu ke al-far'u, didasarkan dari 'illat dalam nash syar'i. Maka apabila hukum asli dihapus, mengharuskan terhapusnya juga 'illat yang akan digunakan dalam al-far'u.
c. Merupakan sesuatu yang logis yang bisa ditangkap oleh akal; 'illat hukumnya bisa diketahui oleh akal. Karena asas qiyas di antaranya adalah: 'illat hukumnya bisa diketahui, dapat diterapkan pada al-far'u.
Para ulama mengatakan tidak dibolehkanya qiayas dalam masalah ta'abuddiyah (prerogatif Allah), yang 'illah-nya manusia tidak ada kepentingan untuk mengetahuinya, seperti jumlah raka'at dalam shalat, thawaf mengelilingi ka'bah dll.


3. Syarat al-Far'u
a. 'Illat yang terdapat pada al-ashlu memiliki kesamaan dengan 'illat yang terdapat pada far'u, karena seandainya terjadi perbedaan 'illat, maka tidak bisa dilakukan penyamaan (qiyas) dalam keduanya. Adapun qiyas yang tidak terdapat syarat ini, dikatakan oleh para ulama sebagai qiyas ma'a al-fariq.
b. Tetapnya hukum asal; hukum asal tidak berubah setelah dilakuakan qiyas.
c. Tidak terdapat nash atau ijma' pada al-far'u, yaitu berupa hukum yang menyelisihi qiyas. Seandaiya terjadi hal ini, maka qiyas itu dihukumidengan qiyas fasid al-'itibar.

Imam Abu Hanifah berkata: "Tidak sah adanya pensyaratan 'iman' dalam memerdekakan budak sebagai kafarat sumpah di-qiyas-kan pada kafarat pembunuhan; karena pensyaratan itu menyelisihi keumuman nash dalam firman Allah Swt.:
Artinya:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak”. (Q.S. Al-Maidah:89).

Lafadz "raqabah/budak" dalam ayat ini berbentuk mutlaq, tidak ada pensyaratan harus mu'min, berbeda dengan kafarat pembunuhan seperti firman Allah Swt.:
Artinya:
dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat. (Q.S. An-Nisa:92).



3. Syarat 'Illat
a. Sifat 'illat hendaknya nyata; terjangkau oleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena 'illat merupakan isyarat adanya hukum yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada far'u. Apabila 'illat tidak bisa ditangkap pancaindera, maka tidak mungkin untuk bisa menunjukkan kepada suatu hukum, jadi 'illat haruslah nyata, seperti 'illat memabukkan dalam khamer.
b. Sifat 'illat hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada far'u, karena asas qiyas adalah adanya persamaan 'illat antara ashlu dan far'u'.
c. 'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan hikmah hukum, dalam arti bahwa kuat dugaan 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum; memelihara kehidupan manusia.
d. 'Illat tidak hanya terdapat pada ashlu saja, tetapi harus berupa sifat yang dapat diterapkan juga pada masalah-masalah lain selain dari ashlu.
Untuk hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Saw, tidak boleh dijadikan dasar qiyas. Misalnya menikahi wanita lebih dari empat orang, karena ini berupa ketentuan khusus yang hanya berlaku bagi Nabi Saw.





4. Macam-Macam Qiyas
Macam-macam qiyas itu antara lain:
a. Qiyas Aula (الاء ولى) yakni apabila qiyas yang ada pada furu’ terlebih kuat dari illat pada pokok. Misalnya : kita melarang berkata “HUS” pada orang tua, maka kita tidak boleh menempeleng orang tua, karena hus itu menyakiti rokhani, sedangkan menempeleng itu menyakiti rokhani dan jasmani.
b. Qiyas Musawi (المساوي), yakni bila illat pada cabang itu sama bobotnya dengan illat pada pokok. Misalnya membakar harta anak yatim diqiyaskan dengan memakan harta anak yatim.
c. Qiyas Dalalah (الدلا لة) yakni qiyas yang menunjukkan dua perkara yang serupa satu sama lain, bahwa illat didalamnya menunjukkan adanya hukum, tetapi illat itu tidak mengharuskan adanya hukum. Misalnya zakat bagi anak yatim yang kaya, diqiyaskan dengan orang dewasa yang kaya.
d. Qiyas syibih (الشبة), yakni mengqiyaskan furu’ pada dua pokok, illat dicari antara kedua pokok tersebut yang paling cocok. Misalnya mendoakan orang kafir yang menyumbang harta untuk kepentingan sosial Islam.
e. Qiyas Adwan (الآدوان) yakni mengqiyaskan hal yang diqiyaskan kepada hukum yang terhimpun pada hukum tempat mengqiyaskan, seperti mengqiyaskan lelaki memakai perak kepada memakai emas, karena ada hukum ashal tentang terkumpul pada haramnya perak dan emas digunakan sebagai tempat air minum.

4. Hujjiyatul Qiyas
Hujjah secara bahasa artinya petunjuk atau bukti, adapun arti qiyas sebagai hujjah adalah: petunjuk atau bukti untuk mengetahui beberapa hukum syar'i. Sedangkan arti hujjiyatul qiyas sendiri adalah bahwa qiyas merupakan dasar dari dasar-dasar pensyareatan dalam hukum-hukum syar'i '.
Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara'. Tetapi mereka sepakat bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai hujjah dalam perkara-perkara duniawi, sebagaimana pula mereka sepakat kehujjahan qiyas Nabi Saw.
Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara'
Jumhur 'ulama Mu'tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu:
1. Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
2. Hukum far'u harus lebih utama daripada hukum ashl.

Dr. Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih, dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama-ulama Syi'ah, al-Nadzam, Dzhahiriyyah dan dari sebagian ulama Mu'tazilah Irak. Hanya saja sebagian dari mereka mengatakan bahwa pelarangan ataupun penolakan terhadap hujjah qiyas berdasarkan dari akal, dan sebagian yang lain mengatakan pelaranganya dari syar'i, namun pada kenyataanya mereka adalah orang-orang yang menolak adanya qiyas.
Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara' menurut kelompok yang menolaknya adalah :
1. Dalil al-Qur'an
Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 49:
"Hai orang - orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya...".
Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur'an dan sunah Rasul. Mempedomani qiyas merupakan sikap beramal dengan sesuatu diluar al-Qur'an dan sunnah Rasul, dan karenanya dilarang.
Pernyataan di atas di bantah dengan:
Bahwa menggunakan qiyas bukanlah sesuatu yang dilarang, karena Allah Swt. dan Rasul-Nya, karena menggunakan qiyas sejatinya adalah beramal dengan al-Qur'an dan sunnah, maka bukan mendahului Allah dan Rasul-Nya.
Selanjutnya dalam surat al-Isra' ayat 36, Allah berfirman :
"Dan janganlah kam mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya ".
Ayat tersebut menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab itu, berdasarkan ayat tersebut, qiyas dilarang untuk diamalkan.
Pernyataan ini juga dibantah dengan: Ayat tersebut bukan merupakan larangan menggunakan qiyas, karena menggunakan qiyas bukanlah perkara yang dzhanni (persangkaan), bahkan qiyas merupakan perkara yang qath'i (pasti) di tangan seorang mujtahid. Artinya diketahui secara yakin bahwa itu merupakan hukum Allah dalam suatu masalah.
2. Hadis
Alasan-alasan mereka dari sunnah Rasul antara lain adalah sebuah hadits hasan yang diriwayatkan Daruquthni yang artinya adalah sebagai berikut :
"Sesungguhnya Allah menentukan berbagai ketentuan, maka jangan kamu abaikan,Menentukan beberapa batasan, jangan kamu langgar, dan haramkan sesuatu, maka jangan kamu langgar larangan itu, dia juga mendiamkan hukum sesuatu sebagai rahmat bagi kamu, tanpa unsur kelupaan, maka janganlah kamu bahas hal itu".
Hadits tersebut menurut mereka menunjukkan bahwa sesuatu itu ada kalanya wajib, adakalanya haram dan adakalanya di diamkan saja, yang hukumnya berkisar antara di ma'afkan dan mubah (boleh). Apabila di qiyas-kan sesuatu yang didiamkan syara' kepada wajib, misalnya maka ini berarti telah menetapkan hukum wajib kepada sesuatu yang dima'afkan atau dibolehkan.
Pernyataan di atas dijawab:
Bahwa menggunakan qiyas bukan merupakan hukum dari mujtahid, tetapi itu adalah hukum dari Allah Swt., karena 'illat hukum pada dasarnya berasal dari sisi Allah.

Sedangkan jumhur ulama ushul fiqih yang membolehkan qiyas sebagai salah satu metode dalam hukum syar'i mengemukakan beberapa alasan diantaranya adalah
1. Surat al-Hasyt ayat 59:
"maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang - orang yang mempunyai pandangan"

Ayat tersebut menurut jumhur ushul fiqih berbicara tentang hukuman Allah terhadap kaum kafir dari Bani Nadhir disebabkan sikap buruk mereka terhadap Rasulullah. Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar umat Islam menjadikan kisah ini sebagai I'tibar (pelajaran). Mengambil pelajaran dari suatu peristiwa menurut jumhur ulama, termasuk qiyas. Oleh sebab itu penetapan hukum melalui qiyas yang disebut Allah dengan al-I'tibar adalah boleh, bahkan al-Qur'an memerintahkannya.
Ayat lain yang dijadikan alasan qiyas adalah seluruh ayat yang mengandung illat sebagai penyebab munculnya hukum tersebut, misalnya :
2. Surat al-Baqarah ayat 222:
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad tentang haid. Katakanlah, "haid itu adalah kotoran", oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid".

Alasan jumhur ulama dari hadits Rasululah adalah riwayat dari Mu'adz Ibn Jabal yang amat populer. Ketika itu Rasulullah mengutusnya ke Yaman untuk menjadi qadhi.
Rasulullah melakukan dialog dengan Mu'adz seraya berkata :
"Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)"
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
Dalam hadits tersebut menurut jumhur ulama ushul fiqih, Rasulullah mengakui ijtihad berdasarkan pendapat akal, dan qiyas termasuk ijtihad melalui akal. Begitu juga dalam hadits lain Rasulullah menggunakan metode qiyas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Suatu hari Umar bin Khatthab mendatangi Rasulullah seraya berkata :
"Pada hari ini saya telah melakukan suatu kesalahan besar, saya mencium istri saya, sedangkan saya dalam keadaan berpuasa". Lalu Rasulullah mengatakan pada Umar :"bagaimana pendapatmu jika kamu berkumur - kumur dalam keadaan berpuasa, apakah puasamu batal ?, Umar menjawab, "tidak", lalu Rasulullah saw berkata : kalau begitu kenapa engkau samapi menyesal ?". (H.R Ahmad Ibn Hanbal dan Abu Daud dari Umar Ibn al-Khatthab)
Dalam hadits tersebut Rasulullah meng-qiyaskan mencium istri dengan berkumur-kumur, yang keduanya sama-sama tidak membatalkan puasa.
Contoh Qiyas
Qiyas keharaman extasy/pil koplo/narkotika.
Hukum mengkonsumsi extasy atau pil koplo tidak tertulis secara eksplisit di dalam al-Qur'an ataupun hadist. Namun dalam al-Qur'an surat al-Maidah ayat 90, Allah Swt berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Maidah: 90)
Pada ayat diatas, Allah menerangkan keharaman minum khamer. Maka metode qiyas dapat digunakan untuk menetapkan hukum mengkonsumsi extasy atau narkotika;
• Al-Ashlu: minuman keras atau khamer
• hukum asli: haram
• Al-far'u: extasy
• Al-'illah: memabukkan,
Dari rincian di atas, dapat disimpulkan bahwa antara extasy dan minum khamer terdapat persamaan dalam 'illah, yaitu sama-sama memabukkan sehingga dapat merusak akal. Jadi dapat disimpulkan bahwa mengkonsumsi extasy atau narkotik hukumnya haram, sebagaimana haramnya minum khamer.

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP, SERTA KEGUNAAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian Ilmu Pendidikan Islam
Secara definitif, ilmu sebagaimana dikemukakan oleh Al-Jurjani dalam bukunya Al-Ta’rifat, adalah sebagai berikut:
1. “Ilmu merupakan kesimpulan yang pasti yang sesuai dengan keadaan sesuatu.”
2. “Ilmu adalah menetapnya ide (gambaran) tentang sesuatu dalam jiwa atau akal seseorang.”
3. “Ilmu adalah sampainya jiwa kepada hakekat sesuatu.
Kata “ilmu” berasal dari kata dasar “Alima - Ya’lamu” yang berarti mengerti atau memberi tanda (mengetahui). Sehingga ilmu dapat juga dikatakan sebagai kesimpulan sesuatu yang didapatkan seseorang melalui panca indera, baik dengan melihat, mendengar, mengucap, menyentuh, mencium, merasa, dan sebagainya.
Selanjutnya istilah pendidikan menurut tinjauan psikologi pada umumnya berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “an”, mengandung arti “perbuatan” (hal, cara, dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu “paedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan “Education” yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan “Tarbiyah” yang berarti pendidikan.
Dalam perkembangan istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Perkembangan selanjutnya pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.
Istilah “pendidikan” dalam konteks Islam lebih banyak dikenal dengan term “Al-Tarbiyah, Al-Ta’lim, dan Al-Ta’dib”. Setiap term tersebut mempunyai makna yang berbeda karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya, walaupun dalam hal-hal tertentu term-term tersebut mempunyai kesamaan makna.
Kata “pendidikan” yang umum digunakan sekarang dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah” dengan kata kerja “rabba”. Sedangkan pendidikan Islam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah Islamiyah
Kemudian di sini juga akan diungkapkan pengertian pendidikan Islam menurut beberapa ahli, di antaranya:
1. Muhammad Athiyah Al-Abrasy memberikan pengertian bahwa “Pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur pikirannya, halus perasaannya, cakap dalam pekerjaannya dan manis tutur katanya.”
2. Ahmad D. Marimba memberikan pengertian bahwa “Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.”
Dengan memperhatikan kedua definisi di atas, maka berarti pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian.
Islam adalah agama wahyu yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Hadis yang disampaikan kepada umat Islam melalui Rasulullah SAW. Oleh karena itu, pendidikan Islam tidak boleh dilepaskan begitu saja dari ajaran Islam yang tertuang dalam kedua sumber tersebut yang merupakan pedoman otentik dalam penggalian khazanah keilmuan apapun.
berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat diberikan pengertian bahwa ilmu pendidikan Islam adalah ilmu yang mempelajari tentang teori-teori atau usaha membimbing dan membina jasmani dan rohani anak didik oleh orang dewasa sesuai dengan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadis.
B. Ruang Lingkup Ilmu Pendidikan Islam
Pendidikan sebagai ilmu yang mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, karena didalamnya banyak segi-segi atau pihak-pihak yang ikut terlibat baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Adapun segi-segi atau pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan islam sekaligus menjadi ruang lingkup pendidikan islam adalah sebagai berikut :
1. Perbuatan mendidik itu sendiri.
Maksudnya adalah seluruh kegiatan, tindakan atau perbuatan dan sikap yang dilakukan oleh pendidikan sewaktu menghadapi/mengasuh anak didik.
2. Anak didik
Yaitu merupakan obyek terpenting dalam pendidikan islam
3. Dasar dan tujuan pendidikan islam
Yaitu landasan yang menjadi fundament dan sumber dari segala kegiatan pendidikan islam yang dilakukan
4. Pendidik
Yaitu subyek yang melakukan pendidikan islam
5. Materi Pendidikan Islam
Yaitu bahan-bahan, atau pengalaman-pengalaman belajar ilmu agama islam
6. Metode Pendidikan Islam
Yaitu cara yang paling tepat dilakukan oleh pendidikan untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan islam kepada anak didik
7. Evaluasi Pendidikan
Yaitu memuat cara-cara bagaimana mengadakan evaluasi atau penilaian terhadap hasil belajar anak didik
8. Alat-alat pendidikan islam
Yaitu alat-alat yang dapat digunakan selama melaksanakan pendidikan islam agar tujuan pendidikan islam tersebut lebih berhasil
9. lingkungan sekitar atau millieu pendidikan islam
Yaitu keadaan-keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta hasil pendidikan islam
C. Kegunaan Ilmu Pendidikan Islam
Setelah memperhatikan dasar-dasar dan tujuan pendidikan Islam sebagaimana yang telah disebutkan, maka berikut ini akan diungkapkan kegunaan ilmu pendidikan Islam:
1. Untuk mengembangkan potensi yang ada pada anak didik Muslim sebagai makhluk yang dapat dididik.
2. Untuk mewariskan nilai-nilai budaya Islam kepada anak didik sebagai generasi penerus/calon pemimpin umat.
3. Karena ilmu pendidikan Islam berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis yang keduanya menggunakan bahasa Arab, dengan demikian dapat melatih dan mempraktikkan bahasa tersebut kepada anak didik Muslim.
4. Untuk memberikan pengertian kepada anak didik bahwa dirinya bukan hanya sebagai seorang Muslim yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadis, tetapi ia juga seorang warga negara Indonesia yang memiliki falsafah hidup bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945.

D. Sumber dan Dasar Pendidikan Islam

Pendidikan Islam bersumber pada enam hal, yaitu
1. al-Qur’an (yang merupakan sumber utama dalam ajaran Islam),
2. as-Sunnah (perkataan, perbuatan dan persetujuan Nabi
3. kata-kata sahabat (madzhab shahabat),
4. kemaslahatan umat (mashalih al-mursalah)
5. tradisi atau kebiasaan masyarakat (‘urf)
6. dan ijtihad (hasil para ahli dalam Islam).

Keenam sumber tersebut disusun dan digunakan secara hierarkis, artinya rujukan pendidikan Islam berurutan diawali dari sumber utama yakni al-Qur’an dan dilanjutkan hingga sumber-sumber yang lain dengan tidak menyalahi atau bertentangan dengan sumber utama. Sedangkan dasar dari pendidikan Islam adalah tauhid. Dalam struktur ajaran Islam, tauhid merupakan ajaran yang sangat fundamental dan mendasari segala aspek kehidupan penganutnya, tak terkecuali aspek pendidikan. Dalam kaitan ini para pakar berpendapat bahwa dasar pendidikan Islam adalah tauhid. Melalui dasar ini dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Kesatuan kehidupan. Bagi manusia ini berarti bahwa kehidupan duniawi menyatu dengan kehidupan ukhrawinya. Sukses atau kegagalan ukhrawi ditentukan diduniawinya.
2. Kesatuan ilmu. Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmuilmu umum karena semuanya bersumber dari satu sumber, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3. Kesatuan iman dan rasio. Karena masing-masing dibutuhkan dan masingmasing mempunyai wilayahnya, sehingga harus saling melengkapi.
4. Kesatuan agama. Agama yang dibawa oleh para nabi semuanya bersumber dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, prinsip-prinsip pokoknya menyangkut akidah dan akhlak tetap sama, dari zaman dahulu sampai zaman sekarang.
5. Kesatuan kepribadian manusia. Mereka semua diciptakan dari tanah dan roh ilahi.
6. Kesatuan individu dan masyarakat. Masing-masing harus saling menunjang






Untuk dasarnya dan sumber dari al-qur’an sendiri adalah dalam surat al-‘alaq 1-5















Dan hadits rasullullah :

طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة
Artinya :

Menuntut ilmu itu adalah kewajiban atas setiap orang islam, laki-laki dan perempuan .{H.R . bukhori dan muslim}.













E. PENDIDIK
Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik sering disebut dengan “murabbi, mu’allim, dan mu’addib”. Ketiga term tersebut mempunyai semantis masing-masing sesuai dengan penggunaannya dalam konteks pendidikan Islam. Di samping itu istilah pendidik juga disebut dengan istilah/panggilan “Al-Ustadz” dan “Al-Syaikh”.
Sebagaimana teori Barat, pendidik dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif, potensi kognitif, maupun potensi psikomotorik.8
Pendidik berarti juga orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba Allah dan khalifah Allah SWT serta mampu mewujudkan dirinya sebagai makhluk sosial (Zoon Politicon) dan sebagai makhluk individu yang mandiri.
Pendidik yang utama dan pertama adalah orang tua (ayah dan ibu). Mereka bertanggung jawab penuh atas perkembangan anak-anaknya sejak dalam kandungan sampai mereka beranjak dewasa. Oleh karena itu kesuksesan anak dalam mewujudkan dirinya sebagai khalifah Allah juga merupakan kesuksesan orang tua sebagai pendidiknya.





F. Anak Didik
Pendidikan ibarat uang logam, selalu memiliki dua sisi yang bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Satu sisi ada yang bertugas sebagai pendidik, di sisi lain ada yang bertugas sebagai peserta/anak didik. Proses pendidikan berarti terjadinya aktivitas antara pemberi dan penerima.
Anak didik merupakan salah satu dari dua sisi tersebut yang memiliki tugas menerima konsep pendidikan agar dirinya terbentuk sebagai insan muslim yang kenal dan tahu akan Tuhan dan agamanya, memiliki akhlak Al-Qur’an, bersikap, bersifat, dan bertindak sesuai dengan kaidah Al-Qur’an, berpikir dan berbuat demi kepentingan umat serta selalu turut ambil bagian dalam kegiatan pembangunan manusia seutuhnya.
Dalam membicarakan anak didik, ada dua hal penting yang harus diperhatikan oleh pendidik, yaitu:
1. Hakikat Anak Didik
Membicarakan anak didik sesungguhnya kita membicarakan hakikat manusia yang memerlukan bimbingan. Para ahli psikologi mempunyai pandangan yang berbeda terhadap manusia. Aliran psikoanalis beranggapaan bahwa tingkah laku manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam yang mengontrol kekuatan psikologis yang sejak semula ada dalam diri individu.
Aliran humanistik mengatakan bahwa manusia senantiasa dalam proses untuk wujud (becoming) namun tak pernah selesai dan tidak pernah sempurna. Tingkah laku manusia digerakkan oleh rasa tanggung jawab sosial dan kebutuhan untuk mencapai sesuatu. Sementara aliran behaviorisme beranggapan bahwa tingkah laku manusia merupakan reaksi dari rangsangan yang datang dari luar dirinya. Manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan karena proses interaksi terus menerus antar individu dengan lingkungannya.
Islam menempatkan manusia sebagai makhluk yang termulia dari semua makhluk Tuhan lainnya dan memberikan kepadanya amanah sebagai khalifah di jagad raya ini.
2. Kebutuhan Anak Didik
Al-Qussy membagi kebutuhan manusia ke dalam dua kebutuhan pokok, yaitu: a) kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmani seperti makan, minum, seks, dan sebagainya. b) kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan rohaniah. Selanjutnya ia membagi kebutuhan rohaniah kepada 6 (enam) macam, yaitu kebutuhan kasih sayang, rasa aman, rasa harga diri, rasa bebas, sukses dan kebutuhan akan suatu kekuatan pembimbing atau pengendalian diri manusia seperti pengetahuan.
Kemudian Law Head, membagi kebutuhan manusia kepada: kebutuhan jasmani dan rohani, seperti istirahat, rekreasi, dan lain-lain, kebutuhan sosial serta kebutuhan agama.
Di kalangan ahli pendidikan timbul suatu problem tentang apakah benar anak itu dapat dibimbing melalui jalur pendidikan? Maka seiring dengan itu terdapat tiga aliran yaitu:
1) Aliran Nativisme, yang berpendapat bahwa sejak lahir anak telah mempunyai pembawaaan yang kuat, sehingga tidak dapat menerima pengaruh dari luar (lingkungan). Baik buruknya seorang anak sangat ditentukan oleh pembawaan yang dimilikinya. Aliran ini dikemukakan oleh Schopenhauer dari Jerman.
2) Aliran Empirisme, yang dipelopori oleh John Locke yang mengemukakan pendapatnya dengan teori tabula rasa. Ia mengatakan bahwa pendidikan sangat mampu memberikan pengaruh yang kuat terhadap perkembangan anak. Baik buruknya seorang anak tergantung kepada pendidikan yang ia terima dari lingkungan sekitarnya.
3) Aliran Konvergensi, yang dianggap sebagai perpaduan dari kedua aliran sebelumnya. Aliran ini dipelopori oleh William Stern, yang berpendapat bahwa perkembangan jiwa anak dipengaruhi oleh pembawaan yang dimilikinya di samping lingkungan yang ada di sekitarnya, atau dengan kata lain, bahwa perkembangan anak itu tergantung pada pembawaan dan pendidikan.
Dari ketiga aliran tersebut di atas, aliran konvergensi dinilai memiliki persamaan dengan konsep ajaran Islam. Menurut konsep ajaran Islam, bahwa setiap anak mempunyai pembawaan (kecenderungan) untuk beragama yang dikenal dengan istilah “fitrah”. Namun fitrah (potensi dasar) tersebut dapat berkembang ke arah yang lebih positif apabila memperoleh pendidikan/bimbingan yang baik dari lingkungan sekitarnya dan sebaliknya, fitrah (potensi dasar) tersebut dapat berkembang ke arah yang lebih negatif apabila memperoleh pendidikan/bimbingan yang buruk dari lingkungan sekitarnya.
G. TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah sesuatu usaha dan kegiatan selesai. Oleh karena itu, pendidikan sebagai usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan, maka tujuannya pun harus bertahap dan bertingkat.
Kalau melihat kembali pengertian pendidikan Islam maka akan tergambar dengan jelas sesuatu yang diharapkan dapat terwujud setelah orang mengalami pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu terwujudnya pribadi-pribadi insan kamil/manusia seutuhnya; sehat jasmani dan rohani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Berikut ini akan dijelaskan berbagai tujuan ideal pendidikan, antara lain:
(1) Tujuan Umum
Tujuan umum ialah tujuan yang akan dicapai dari semua kegiatan, baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Sementara cara atau alat yang paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan adalah pengajaran.
Tujuan umum pendidikan Islam harus dikaitkan pula dengan tujuan pendidikan nasional negara tempat pendidikan Islam itu dilaksanakan dan harus dikaitkan pula dengan tujuan institusional lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tersebut.
(2) Tujuan Akhir
Pendidikan Islam itu berlangsung sepanjang usia (long life education) maka tujuan akhirnya harus tercapai sewaktu hidup di dunia ini berakhir. Tujuan akhir pendidikan Islam itu dapat dipahami dari Firman Allah SWT:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim (menurut ajaran Islam).” (QS. Ali Imran: 102)
(3). Tujuan Sementara
Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam suatu kurikulum pendidikan formal.
(4) Tujuan Operasional
Tujuan operasional adalah tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Satu unit kegiatan pendidikan dengan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan mencapai tujuan tertentu disebut tujuan operasional. Dalam pendidikan formal tujuan operasional ini disebut juga dengan tujuan instruksional yang selanjutnya dikembangkan menjadi tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.


Pendidikan Islam juga mempunyai tujuan tersendiri sesuai dengan falsafah dan pandangan hidup yang digariskan Al-Qur’an. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam mempunyai dua tujuan, yaitu:
1. Tujuan keagamaan, maksudnya adalah beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui Tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah yang diwajibkan atasnya.
2. Tujuan ilmiah yang bersifat keduniaan, yaitu apa yang diungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk kehidupan.
Namun selanjutnya, karena pendidikan Islam yang dimaksud di sini adalah pendidikan Islam yang berlaku di Indonesia, maka haruslah berorientasi kepada tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional dirumuskan dengan mendasarkan kepada pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila. Sehingga diharapkan lembaga pendidikan Islam di Indonesia dapat melahirkan manusia muslim yang Pancasilais. Tujuan pendidikan di Indonesia telah digariskan dalam UU No. 12 tahun 1945 dan UU No. 4 tahun 1950. Dalam pasal 3 dari Undang-undang tersebut dirumuskan tujuan pendidikan sebagai berikut:
“Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.”
Sejalan dengan perkembangan sejarah dan perubahan sosial, maka rumusan tujuan pendidikan yang tercantum dalam UU No. 12 tahun 1945 dan UU No. 4 tahun 1950 mengalami perubahan untuk lebih disempurnakan. Di dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional tujuan pendidikan dinyatakan sebagai berikut: “Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”
Selanjutnya dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 tujuan pendidikan dinyatakan bahwa: “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Di dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut jelas bahwa dalam rangka pembinaan manusia seutuhnya, unsur iman dan taqwa menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan.
Adapun tujuan akhir pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari ajaran Islam itu sendiri yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah, lahir dan bathin, di dunia dan akhirat.