Sabtu, 29 Januari 2011

MAQASHID AL-SYARI`AH

BAB II
PEMBAHASAN
TUJUAN PENSYARI`ATAN HUKUM ISLAM (MAQASHID AL-SYARI`AH)

A. Definisi Maqashid Al-Syari`ah
Secara etimologi maqashid al-syari`ah terdiri dari dua kata yakni maqashid dan al-syari`ah. Maqashid bentuk jamak dari maqshid yang berarti tujuan atau kesengajaan.
Sedangkan syariah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut Manna al-Qathan yang dimaksud dengan syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.
Jadi, dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari`ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada umat manusia.
Istilah maqashid al-syari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy-Syatibi yang tertuang dalam karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah :

هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا

“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.

Dari segi bahasa Maqashid syariah berarti maksud dan tujuan disyariatkan hukum Islam, karena itu menjadi bahasan utama di dalamnya adalah mengenai masalah hikmah dan illat ditetapkannya suatu hukum. Adapun menurut istilah syari’ah, Maqashid syar’iah adalah kemaslahatan yang ditujukan kepada manusia baik di dunia maupun di akhirat dengan cara mengambil manfaat dan menolak mudharat.
Allah Swt menjadikan syariat untuk manusia memiliki tujuan hukum tertentu bukan dengan sia-sia, hal itu telah ditentukan dengan dalil-dalil dalam Al-Qur’an secara pasti. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main.Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui. (Qs. 44:38-39)
“Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”. (Qs.3:205)
Allah juga mengutus para rasul dan nabi dengan menurunkan syari’at-Nya untuk memberikan peraturan kepada manusia.
“Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (Qs. 57:25)
Syariat Islam diturunkan yaitu untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan yakni semua permasalahan dan akibat-akibatnya.
Syatibi mengemukakan dalam maqoshid syariah bahwa tujuan Allah dalam menetapkan hukum, dengan penjelasan bahwa tujuan hukum itu adalah satu, yakni untuk kebaikan dan kesejahteraan (maslahah) umat manusia baik cepat maupun lambat secara bersamaan.
Jadi, tujuan syariat mencakup kemaslahatan dunia dan akhirat. Karenanya beramal shaleh menjadi tuntutan dunia dan kemaslahatannya merupakan buah dari amal, yang hasilnya akan diperoleh di nanti akhirat. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir”. (Qs. 17:18)
“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik”. (Qs.17:19).
Ayat ini menunjukkan bahwa untuk memperoleh akhirat harus diperolehnya di dunia dengan tuntutan tasyri’. Oleh karenanya orang yang beramal pantas mendapat balasan dari Allah baik di dunia maupun di akhirat.
Tujuan syar’i sebagaimana disebutkan di atas ialah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia baik di dunia dan di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, Al-Qur’an dan hadits.

B. Argumentasi Maqashid al-Syari`ah
Di dalam Al-Qur’an salah satu ayat yang menyatakan bahwa hukum Islam itu diturunkan mempunyai tujuan kemaslahatan bagi manusia.
“ Sungguh telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah memimpin orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan seizinnya dan memimpin mereka ke jalan yang lurus. (Q.S. Al-Maidah : 15-16).
Para ulama fikih dan ushul fikih sepakat bahwa hukum diturunkan untuk kemaslahatan manusia di dunia maupun akhirat. Namun para ulama kalam dalam menanggapi masalah menta`lilkan hukum dengan maslahah – walaupun mereka mangakui bahwa hukum Islam mengandung maslahat – mempunyai tiga pendapat :
• Pendapat pertama : bahwa hukum syara` tidak boleh dita`lilkan dengan maslahah. Jelasnya mungkin Allah mensyariatkan hukum yang tidak mengandung maslahah. Demikianlah pendapat golongan Asy`ariah dan Zahiriah, walaupun mereka mengakui segala hukum syara` disyariatkan untuk kemaslahatan manusia itu.
• Pendapat kedua : maslahah itu dapat dijadikan illat sebagai hukum suatu tanda saja bagi hukum, bukan sebagai suatu penggerak yang menggerakkan Allah menetapkan suatu hukum itu. Demikianlah pendapat sebagian ulama Syafi`iyah dan Hambaliyah.
• Pendapat ketiga : segala hukum Allah dita`lilkan dengan masalah karena Allah telah berjanji sedemikian dan karena Allah Tuhan yang senantiasa mencurahkan Rahmat atas hambanya, menolak daripada mereka kesempitan dan kebinasaan. Pendapat ketiga ini adalah pendapat golongan Mu`tazilah, Maturidiah, sebagian ulama Hambaliah dan semua ulama Malikiah.
Sesungguhnya perbedaan faham ini hanyalah pada teori saja, tapi dalam praktek semua mereka sepakat menetapkan bahwasanya segala hukum syara` adalah wadah kemaslahatan yang hakiki dan tidak ada suatu hukum yang tidak mengandung kemaslahatan.
C. Pembagian Maqashid al-Syari`ah
Tujuan hukum terbagi kepada dua, yaitu yang pertama Qasd Syara` yang bermakna tujuan Pencipta hukum, sedangkan yang kedua Qasd al-Mukallaf (kondisi mukallaf dalam memahami hukum yang terkait dengan maslahah baik tingkatannya, ciri-cirinya, relativitasnya, dan keabsolutannya).
Yang dimaksud dengan daruriyyat adalah memelihara kebutuhan-kebutuhan yang esensial dengan menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dengan batas tidak terancam kelima eksistensi itu, kelima eksistensi ini disebut dharuriyyat al-khoms. Kebutuhan dalam kelompok hajiyyat tidak termasuk kebutuhan yang esensial melainkan kebutuhan yang menghindarkan manusia dalam hidupnya. Tidak terpelihara kelompok ini tidak mengancam eksistensi keloma pokok di atas tetapi hanya akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Kelompok ini erat kaitannya dengan rukshoh dalam ibadah dalam ilmu fiqih. Sedangkan dalam kelompok tahsiniyyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan Allah sesuai dengan kepatutan.
Mengetahui urutan peringkat mashlahat di atas menjadi penting artinya, apabila dihubungkan dengan skala prioritas penerapannya, ketika kemashlahatan yang satu berbenturan dengan kemashlahatan yang lain. Dalam hal ini tentu peringkat pertama, daruriyyat, harus didahulukan daripada peringkat kedua, hajiyyat, dan peringkat ketiga, tahsiniyyat. Ketentuan ini menunjukkan, bahwa dibenarkan mengabaikan hal-hal yang termasuk dalam peringkat kedua dan ketiga, mnakala kemashlahatan yang masuk peringkat pertama terancam eksistensinya.
Misalnya seseorang diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan untuk memelihara eksistensi jiwanya. Makanan yang dimaksud harus makanan halal. Manakala pada suatu saat ia tidak mendapatkan makanan yang halal, padahal ia akan mati kalau tidak makan, maka dalam kondisi tersebut ia dibolehkan memakan makanan ynag diharamkan, demi menjaga eksistensi jiwanya. Makan, dalam hal ini termasuk menjaga jiwa dalam peringkat daruriyyat;hajiyyat. Jadi harus didahulukan memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyathajiyyat. Begitu pula halnya manakala peringkat tahsiniyyathajiyyat, maka peringkat hajiyyat harus didahulukan daripada peringkat tahsiniyyat. Misalnya melaksanakan shalat berjama’ah termasuk peringkat hajiyyat, sedangkan persyaratan adanya imam yang shalih, tidak fasik, termasuk peringkat tahsiniyyat. Jika dalam satu kelompok umat Islam tidak terdapat imam yang memenuhi persyaratan tesebut, maka dibenarkan berimam pada Imam yang fasik, demi menjaga shalat berjama’ah yang bersifat hajiyyat. sedangkan makanan yang halal termasuk memelihara jiwa dalam peringkat daripada peringkat berbenturan dengan peringkat.
Jadi, Allah Swt menetapkan hukum untuk manusia dengan tujuan untuk memperoleh kemaslahatan manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Hal lainnya adalah tolak ukur untuk menentukan baik dan buruknya (manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan mendasar manusia.
Tuntutan kebutuhan bagi manusia bertingkat-tingkat. Secara berurutan, peringkat itu adalah dharuriyyat (primer), hajiyyat (sekunder) dan tahsiniyyat (tersier). Masuk di dalamnya apa yang disebut dengan ad-dhoruriyyat al-khoms atau al-kuliiyat khoms atau dikenal juga dengan Maqashid syar’iyah yang lima yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Tujuan Allah mensyariatkan hukum-Nya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia baik dunia maupun akhirat. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan itu –berdasarkan penelitian para ahli ushul fikih –ada 5 unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, kelima pokok tersebut adalah :
 Agama (hifzh al-din);
 Jiwa (hifzh an-nafs);
 Akal, (hifzh al-`aql);
 Keturunan (hifzh an-nasb) dan ;
 Harta. (hifzh al-mal);
1. Memelihara Agama (hifzh al-din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :
a) Memelihara agama dalam tingkat dharuriyah yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama;
b) Memelihara agama dalam peringkat hajiyah yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghidari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya kita mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c) Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya membersihkan badan, pakaian dan tempat.
2. Memelihara jiwa (hifzh an-nafs)
Memihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dibedakan menjadi tiga peringkat :
a) Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
b) Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c) Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan tata cara makan dan minum.
3. Memelihara akal, (hifzh al-`aql)
Memelihara akal dari segi kepentingannya dibedakan menjadi 3 tingkat :
a) Memelihara akaldalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan meminum minuman keras karena berakibat terancamnya eksistensi akal.
b) Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan.
c) Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.
4. Memelihara keturunan (hifzh an-nasb)
Memelihara keturunan dari segi tingkat kebutuhannya dibedakan menjadi tiga
a) Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyah seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina.
b) Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah.
c) Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat seperti disyaratkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan.
5. Memelihara harta. (hifzh al-mal)
Memelihara harta dapat dibedakan menjadi 3 tingkat :
a) Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah.
b) Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat tentang jual beli tentang jual beli salam.
c) Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.
Guna kepentingan menetapkan hukum kelima unsur tersebut dibedakan menjadi 3 tingkat yaitu :
a) Dharuriyah adalah segala sesuatu yang harus ada untuk tegaknya kehidupan manusia, dalam arti apabila dharuriah tidak terwujud, maka cederalah kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
b) Hajiyah adalah kebutuhan sekunder, dimana bila tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan.
c) Tahsiniyah adalah tingkat kebutuhan tersier, yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi dharuriyah dan tidak pula menimbulkan kesulitan.


D. Peranan Maqashid al-Syari`ah Dalam Pengembangan Hukum
Pengetahuan tentang maqashid al-syari`ah seperti yang ditegaskan Abdul Wahab al-Khallaf adalah berperan sebagai alat Bantu untuk memahami redaksi al-qur`an dan sunnah, menyelesaikan dalil- dalil yang bertentangan, dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam al-qur`an dan sunnah secara kajian kebahasaan.
Metode istinbat seperti qiyas, istihsan, dan maslahah al-mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqashid al- syariah . qiyas misalnya baru bisa dilaksanakan bila mana dapat ditemukan maqashid al-syari`ahnya yang merupakan alasan logis dari suatu hukum. Sebagai contoh kasus diharamkannya khamar dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqashid al-syari`ah diharamkannya khamar adalah karena sifa memabukkannya yang merusak akal. Dengan demikian yang menjadi alasan logis dari diharamkannya khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri adalah salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode qiyas bahwa setiap yang memabukkan adalah haram.

E. Asas maqasid syariah
Objektif di sebalik penurunan atau penetapan syariah dapat dilihat sendiri menerusi dua sumber utama kepada umat Islam iaitu Al-Qur’an dan hadis.
Ia bertitik-tolak dari firman Allah SWT yang menjelaskan motif kebangkitan junjungan besar Nabi Muhammad SAW melalui firman-Nya: Dan tidak Kami utuskanmu (wahai Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekelian alam. (al-Anbiya’: 107).
Tidak dapat disangkal lagi bahawa perkataan ‘rahmat’ itu bermaksud kebaikan, kemaslahatan dan keharmonian.
Jika kita memerhatikan kejadian alam ini, semuanya dicipta untuk kemudahan dan kepentingan hidup manusia. Begitu juga hukum-hakam syariah.
Maqasid syariah juga dapat dijejaki menerusi ayat-ayat Al-Qur’an. Kita akan mendapati bahawa setiap suruhan dan perintah Allah SWT pastinya akan diakhiri dengan penerangan tentang maslahah (kebaikan) yang akan diperolehi oleh mereka yang melaksanakannya. Begitu juga ayat-ayat yang menyentuh tentang larangan.
Biasanya, ia akan diakhiri dengan peringatan tentang mafsadah (keburukan) yang akan menimpa mereka yang melakukannya.
Sebagai contoh, dalam persoalan solat, Allah SWT jelas menyatakan matlamat dari pensyariatannya adalah supaya dapat mencegah manusia itu dari melakukan maksiat dan penderhakaan kepada Allah SWT dalam kehidupan mereka.
Firman Allah SWT: Sesungguhnya solat itu boleh mencegah daripada perbuatan keji dan mungkar. (al-Ankabut: 45)
Demikian juga dalam persoalan puasa, Allah SWT menjelaskan objektif pensyariatannya kepada umat Nabi Muhammad dan umat nabi-nabi yang terdahulu adalah untuk membentuk jiwa yang bertaqwa kepada Allah SWT.
Firman Allah SWT: Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan ke atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan ke atas orang-orang yang sebelum kamu, semoga kamu (sentiasa) bertakwa. (al-Baqarah: 183)
Begitu juga dari sudut undang-undang, Islam menjelaskan objektif di sebalik pensyariatan qisas terhadap mereka yang melakukan pembunuhan secara sengaja. Firman Allah SWT: Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) kehidupan bagi kamu. (al-Baqarah: 179)
Dari sudut ekonomi pula, Islam sangat menggalakkan supaya umat Islam membudayakan derma, sedekah, hibah, wakaf dan sebagainya untuk berkongsi nikmat harta yang telah Allah SWT kurniakan kepada mereka.
Harta tersebut boleh dimanfaatkan oleh golongan yang tidak berkemampuan untuk membina hidup mereka. Bahkan, Allah SWT mewajibkan umat Islam yang telah cukup syarat-syaratnya untuk membayar zakat kepada asnaf-asnaf.
Objektif pensyariatannya dinyatakan dalam firman Allah SWT: ….. Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya sahaja di kalangan kamu. (al-Hasyr: 7)
F. Faedah-faedah memahami maqashid
Memahami maqasid syara' merupakan unsur penting dalam mengeluarkan hukum.Ini kerana maqasid ialah paksi yang akan memastikan setiap hukum itu akan seiring dengan kehendak dan matlamat Allah mensyariatkannya ke atas manusia. Dengan memahami maqasid atau maqasid syara' dapat menjelaskan lagi tujuan dan hikmah pensyariatan sesuatu hukum samada secara keseluruhannya atau sebahagiannya. Selain itu ia juga dapat memperkembangkan lagi topik-topik perbincangan di dalam perkara-perkara ilmu maqasid seperti maslahah , qiyas,dan sebagainya.
Apa yang menarik ialah jurang perselisihan pendapat antara fuqaha dapat dikurangkan lantas membuang perasaan taasub mazhab yang sebenarnya merugikan umat sendiri. Apa yang penting dalam setiap hukum yang dikeluarkan ialah ianya dapat mencapai dan selari dengan maqasid syara'.

Akhirnya, memahami maqasid akan meyakinkan lagi bahawa islam itu datang untuk memberi maslahah dan kebaikan kepada manusia di dunia dan di akhirat.Justru, individu muslim akan lebih rasional dan bersemangat dalam melakukan suruhan Allah Taala.
G. Kedudukan Maqashid Syara' Dalam Menilai Sesuatu
1) Kedudukan maqashid menurut perspektif syara'
Sebagaimana yang telah dimaklumkan, sesungguhnya dalil-dalil syari’at Islam menegaskan bahawa setiap hukum-hukumnya mempunyai maqashid dan maksud yang tertentu. Sehubungan dengan itu, sudah menjadi makluman umum bahawa sesungguhnya tujuan pensyari’atan itu ialah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Maqashid syara' merupakan kayu ukur dalam menilai sesuatu.Dengan kata lain, dalam memahami sesuatu hukum ianya mestilah seiring dengan maqashid yang telah digariskan oleh syara'.Fenomena ini jelas dilihat di dalam al-Qur’an.dan al-Sunnah..
Jumhur ulama telah berpendapat bahawa hukum-hukum syara' mengandungi hikmah dan maqashidnya yang tersendiri yang mana hanya berkisar tentang menjaga kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Pengamatan terhadap hukum-hukum ini telah menghasilkan satu jalinan kaitan yang rapat antara hukum syara' dan maqashidnya.Justru dalam proses memahami hukum, seorang faqih bukan sahaja perlu memahami dalil-dalil hukum tersebut, malah perlu memandang lebih jauh lagi yaitu aspek maqashid hukum tersebut disyari’atkan. Malah tidak keterlaluan jika dikatakan hukum fiqh tanpa maqashid sama seperti jasad yang tiada ruhnya.
Antara dalil-dalil yang mengukuhkan kedudukan maqashid sebagai hujjah yang mengikat ialah:


 Al-Qur’an al-Karim :
Al-Qur’an al-Karim yang merupakan sumber primer maqashid syara' samada secara langsung ataupun tidak, telah mengajar pengamalnya tentang setiap perkara itu haruslah bermatlamat. Daripada al-Qur’an kita dapat mengetahui maqashid pengutusan rasul-rasul, penurunan al-Qur’an, pentaklifan mukallaf dengan tanggungjawab dan pembalasannya dan maqashid kejadian alam dan manusia .Al-Qur’an telah menjelaskan maqashid penciptaan manusia ialah untuk pengabdian kepada Allah.
Al-Qur’an juga telah mengisbatkan prinsip utama islam diturunkan yaitu untuk menjaga agama, jiwa, akal ,keturunan dan harta.Jika diteliti kesemua hukum islam beredar di bawah naungan lima prinsip utama ini. Al-Qur’an juga telah menentukan banyak maqashid dan hikmah sesuatu hukum disyari’atkan yang seterusnya membentuk teori maqashid itu sendiri.Contohnya Maqashid larangan bersetubuh dengan isteri ketika haid ialah untuk mengelakkan penyakit, maqashid ibadat haji ialah mendapat faedah yang banyak antaranya penyatuan umat islam , maqashid perkahwinan ialah memelihara diri , dapat hidup dalam kasih sayang dan keharmonian, maqashid ibadat puasa ialah menjana sifat ketakwaan, maqashid larangan mendekati zina ialah kerana buruk akibatnya dan lain-lain maqashid yang banyak dinyatakan di dalam al-Qur’an.
Daripada al-Qur’an juga satu rumusan tentang berbagai kaedah fiqh "qawaid fiqhiyyah" dapat dibentuk .Kaedah fiqh ini penting dalam memahami hukum dan mempunyai kaitan rapat dengan maqashid syar'iyyah itu sendiri. Antaranya "Darurat (kesusahan )mengharuskan yang haram" , "setiap kesusahan atau masyaqqah itu diukur dengan seada-adanya", "setiap kesusahan ada kesenangannya", Ini bermakna maqashid mempunyai kedudukan yang kukuh dan nilai autoriti yang kuat dalam menilai sesuatu.
Hukum-hukum syara' bukan diturunkan secara serentak dan pelaksanaannya juga adalah secara berperingkat-peringkat.Ini semua tidak lain dan tidak bukan ialah untuk memastikan sesuatu hukum itu akan sampai kepada matlamat ianya disyari’atkan. Sesuatu hukum tidak akan mencapai maqashidnya seikiranya dijalankan pada masa yang salah atau dalam keadaan umat yang masih belum dapat menerima hukum itu.Contohnya pengharaman arak adalah secara berperingkat-peringkat ialah untuk memlihara maslahat umat pada ketika itu yang mana minuman arak adalah adat yang sukar untuk ditinggalkan secara sekaligus.Jika pengharaman dibuat secara drastik, kemungkinan umat islam pada ketika itu tidak dapat mentaati larangan Allah itu dan maqashid pengharamannya tidak dapat dicapai.
Jika diteliti ayat-ayat yang berkait dengan hukum-hukum fiqh, boleh dikatakan ada terselit maqashid di sebalik pensyari’atan hukum tersebut.Bukan setakat itu sahaja, ilmu usul fiqh pula telah menyediakan pelbagai instrumen seperti qiyas dan al-zarai' yang boleh digunakan untuk meluaskan lagi aplikasi objekif di dalam sesuatu hukum kepada hukum yang lain.Walaupun tidak ada dalil yang khusus di dalam al-Qur’an yang menyatakan setiap hukum ada maqashidnya tetapi berdasarkan dalil-dalil secara umumnya dapat kita simpulkan bahawa al-Qur’an sentiasa mengambilkira aspek maqashid dalam menyatakan sesuatu hukum.
 Al-Sunnah
Sebagai sumber kedua terpenting selepas al-Qur’an mempunyai peranan penting dalam menguatkan lagi apa yang dibawa oleh al-Qur’an, mentafsirkan al-Qur’an, menjelaskan dan menghuraikannya agar lebih jelas dan mudah dipraktikkan. Begitu juga di dalam bidang maqashid, al-Sunnah berperanan menguatkan lagi kedudukan maqashid dalam menilai sesuatu.Banyak al-sunnah yang menerangkan tentang sesuatu hukum turut menekankan aspek maqashid hukum tersebut. Contohnya Hadits Rasulullah S.A.W. yang bermaksud : " Sesungguhnya agama itu mudah" Dalam Hadits ini, dengan jelas ianya menunjukkan antara maqashid atau objektif syari’at, yaitu memudahkan ummat, tidak membebankan dan senang untuk diamalkan. Begitu juga dengan sabda baginda : "Rasulullah S.A.W jika diberikan peluang untuk memilih antara dua perkara, maka baginda tidak akan memilih kecuali yang paling mudah selagimana ianya tidak berdosa.." Ianya membawa objektif bahawa islam amat mementingkan kemudahan kepada umatnya. Dalam Hadits yang lain pula, Rasulullah S.A.W bersabda : "Jika tidak kerana menyusahkan umatku nescaya sudah aku suruh mereka bersiwak untuk setiap kali solat". Dari Hadits ini jelas menunjukkan syari’at islam bukan bertujuan untuk menyusahkan umat malah menyenangkan dan memastikan kemaslahatan mereka terjamin.
Autoriti maqashid syara' dalam menilai sesuatu tidak perlu dipertikaikan lagi kerana maqashid syara' bukanlah sesuatu yang asing dari dalil-dalil syara' malah ianya terkandung di dalam dalil-dalil itu sendiri samada secara langsung atau tidak. Hasil penelitian secara kuantitatif dan deduktif terhadap dalil-dalil ini menunjukkan setiap hukum yang disyari’atkan mempunyai maqashid yang tersendiri yang akhirnya tertumpu kepada menjaga kemaslahatan manusia sejagat.
 Ijtihad
Jika ditinjau pada zaman sahabat, mereka telah mengaplikasikan konsep maqashid syara' di dalam setiap ijtihad yang mereka lakukan. Jika dibandingkan dengan zaman Rasulullah S.A.W. penggunaan konsep ini agak lebih meluas memandangkan banyak perkara-perkara baru yang tiada nas mula timbul hasil daripada peredaran zaman dan perkembangan semasa.
Kepahaman para sahabat terhadap al-Qur’an adalah istimewa berbanding dengan kefahaman orang lain kerana mereka bukan sahaja memahami zahir al-Qur’an malah menjangkau tujuan di sebalik penurunannya itu.
Justru kita dapati ijtihad-ijtihad mereka bertepatan dengan kehendak syara' untuk menjamin kemaslahatan umat sejagat.Ahmad b. Hanbal menegaskan perbuatan para sahabat ini berpunca daripada pemahaman mereka tentang maqashid syara' itu sendiri. Antara contoh yang jelas ialah ijtihad mereka untuk mengumpulkan al-Qur’an di dalam satu mashaf, menjatuhkan talak tiga dengan satu lafaz, tidak membahagikan tanah rampasan perang kepada tentera dan banyak lagi.
Begitu juga keadaannya pada zaman tabi'in yang sempat hidup bersama sahabat.Mereka mewarisi secara praktikal pengambilkiraan maqashid syara' dalam mengeluarkan hukum yang berpusat kepada menarik maslahah dan menolak mafsadah. Seterusnya corak berijtihad seumpama ini diwarisi sehingga ke zaman imam mujtahid dan hari ini.
Al-Imam al-Syafi'i mengambil langkah merujuk kepada maqashid syara' sebagai satu kaedah dalam berijtihad apabila tiada nas dari al-Qur’an atau al-Sunnah atau Hadits ahad .Seterusnya, sekiranya beliau tidak mendapati apa-apa maslahah umum atau kepentingan umum beliau akan berpindah kepada sumber ijma'.Al-Imam Al-Ghazali juga mengambilkira aspek maslahah sekiranya ada tanda-tanda ianya adalah maqashid syara'.
Para ulama usul umumnya menyentuh kedudukan maqashid syara' dalam membuat apa-apa penilaian apabila mereka membincangkan masalah tarjih.Menurut mereka dalam proses mentarjih antara pendapat ulama ada beberapa neraca antaranya lebih memudahkan manusia dan lebih hampir dengan maqashid syara'.
Ibn A'syur pula bersependapat sedemikian dan mengukuhkan kepentingan memahami maqashid syara' dalam mengeluarkan hukum.Menurut beliau,proses untuk melakukan ijtihad lima perkara:
1) Memahami nas berdasarkan pengertian bahasa dan istilah syara'.
2) Meneliti kemungkinan nas berkenaan dinasakh atau ditaqyid atau di takhsis atau ada nas lain yang lebih utama daripadanya.
3) Mengenali 'illat hukum dan melakukan qiyas berasaskannya.
4) Menentukan hukum bagi kes yang tidak dinaskan dengan menggunakan kaedah qiyas.
5) Menentukan hukum ta'abbudi seada-adanya.
Menurut beliau, seorang mujtahid perlu memahami maqashid syara' dalam semua peringkat di atas.
2) Kaedah Pengaplikasian Maqashid.
Selepas memahami makna sebenar maqashid, hakikatnya dan juga kedudukannya dalam syari’at, tindakan selanjutnya pula ialah melihat kepada pengaplikasiannya terhadap hukum – hukum ijtihad. Ini kerana memahami maqashid adalah di antara syarat terpenting bagi seorang mujtahid untuk berijtihad dan bagi seorang mufti untuk berfatwa menurut al-Syatibi dan diiktiraf oleh jumhur ulama terkemudian. Ini kerana sebarang ijtihad dan fatwa yang sepi daripada maqashid akan menyebabkan penyimpangan ijtihad ataupun fatwa tersebut daripada landasan syari’at, kerana maqashid seperti yang telah kita katakana – ialah himpunan pemahaman terhadap sejumlah besar daripada dalil – dalil syara'.
Pengaplikasian maqashid dalam ijtihad juga amat penting kerana ianya akan menuju ruh syara' yang bertepatan dengan tabiat dalil – dalil dan syari’at itu sendiri yang sentiasa mengambilkira persoalan menjaga kemaskahatan ummah dan mengelakkan mereka daripada mudharat. Prinsip ini juga merupakan asas atau tunjang kepada tasyri' itu sendiri. Oleh itu pengaplikasian ini amat – amat penting.
Peringkat pengaplikasian maqashid pula boleh kita bahagikan kepada empat peringkat :
1) Memahami maqashid juz'i ataupun illat hukum dan menetapkannya.
2) Melihat kepada pengaplikasian maqashid juz'i atau hukum lain yang boleh diaplikasikan ke atasnya maqashid tersebut.
3) Memahami maqashid kulliy dan menetapkannya dalam semua keadaan hukum melalui kaedah deduktif. 4.Melihat kepada kes – kes baru yang memerlukan hukum dan mempertimbangkannya menurut neraca maqashid kulliy melalui kaedah masalih mursalah dan istihsan, sehingalah mujtahid sampai kepada hukum yang benar – benar menepati maqashid tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Maqasid Syara' atau lebih popular dengan istilah maqasid syar'iyyah merupakan matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syara' dalam pensyariatan hukum.Umumnya maqasid ini tertumpu kepada menarik maslahah dan menolak mafsadah daripada manusia sejagat.
Maqasid syariah merupakan penaung kepada dalil-dalil syara', ia bukannya sesuatu yang asing dari dalil-dalil syara' malah terkandung di dalamnya samada secara langsung atau tidak.
Islam sebagai satu cara hidup adalah sesuai untuk semua bangsa dan setiap ketika bersumberkan wahyu yang berupa dalil-dalil yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan al- Sunnah.Dalil-dalil yang terbatas kuantitinya tidak akan terbatas aplikasinya sekiranya seorang mujtahid itu tidak hanya memahami dalil secara lateral semata-mata , malah melihat kepada aspek maqasid syara' di sebalik pensyariatan sesuatu hukum.
Justru, kepentingan memahami maqasid syara' bagi seorang mujtahid dan pengkaji hukum tidak boleh dikesampingkan untuk memastikan penilaian yang dibuat terhadap sesuatu itu selari dengan kehendak Al-Syari' .

B. SARAN DAN KRITIK
Diharapkan bagi semua kalangan baik itu kita mahasiswa dan masyarakat pada umumnya, untuk dapat mengetahui tentang masyarakat madani dan juga diharapkan saran dan kritiknya dalam rangka penyempurnaan makalah ini, mungkin banyak terjadi kesalahan dalam punulisan maupun pembahasannya dari itu saya sebagai pemakalah mohon ma’af yang sebesar – besarnya.


DAFTAR PUSTAKA

1. Beni Ahmad Saebani, 2008, Filsafat Hukum Islam, CV Pustaka Setia, bandung.
2. Arifin, 2002. Filsafat Umum, Gema Media Pusakatama, Bandung

3. Franz Magnis Suseno, 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius. Jogjakarta.

4. Juhaya S. Pradja, 2003. Filsafat Ilmu, Teraju Mizan, Bandung

5. Miftahul Huda, 2006. Filsafat Hukum Islam. STAIN PO Press, Ponorogo

6. Nasrun Rusli, 1999, Konsep Ijtihad Al Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Logos, Jakarta.

7. Muhammad Khalid Mas'ud, 1995, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin, Al Ikhlas, Surabaya.

8. Taufik Abdullah, 2002, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve , Jakarta.

9. Wahbah Zuhaili,1986, Ushul Fiqh Islamy, Dar al Fikr. Surabaya

10. Muhammad Khalid Mas'ud, 1997, Al Qur'an dan Sunnah Referensi Tinggi Ummat Islam, terj. Robbani Press, Jakarta.

11. Peunoh Dali, 1988, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta:

12. Hasbi Ash-Shidieqie, 1993. Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta.

13. Abdul Mujib, 1990. Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, Kalam Mulia, Jakarta.

14. Ahmad Rofi Usman, 1987, Al-Ghazali Sang Sufi Sang Fisolof, Pustaka Salman, Bandung

15. http://maqasid-syariah.blogspot.com/2009/01/maqasid-al-syariah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar